Paksa Badan Digencarkan

Penulis: MI/IRENE HARTY Pada: Minggu, 01 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Paksa Badan Digencarkan

antara

WAKIL Presiden Jusuf Kalla mengingatkan akan makin banyak penunggak pajak yang disandera atau paksa badan  (gijzeling) untuk menggugah kedisiplinan para wajib pajak di Tanah Air.

"Itu merupakan langkah penegakan hukum untuk meningkatkan kepatuhan pajak," katanya di Surabaya, kemarin.

Pernyataan Wapres merujuk langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mulai Jumat (30/1) menyandera badan seorang penunggak pajak berinisial SC. SC dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Salemba selama enam bulan karena perusahaannya menunggak pajak lebih dari 5 tahun senilai Rp6 miliar.

"Gijzeling sudah sesuai dengan undang-undang dan itu merupakan upaya agar masyarakat disiplin membayar pajak. Makin banyak pengemplang, makin banyak dipenjara," imbuh Wapres.

Saat dihubungi Media Indonesia, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Dadang Suwarna mengatakan penertiban oleh pihaknya akan dilakukan setiap bulan. "Minggu besok akan kita lakukan di Jawa dan Sumatra," ucapnya.

Menurut Dadang, dari dulu pemerintah sudah melakukan gijzeling terhadap pengemplang pajak, tapi tidak banyak diekspos media massa. Setiap tahunnya, Dadang mengaku ada penangkapan minimal 400 wajib pajak.

Penerapan gijzeling dilakukan berdasar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Di waktu lampau, Dirjen Pajak Hadi Poernomo dan Dirjen Pajak M Tjiptarjo tercatat pernah menerapkan gijzeling.

Menurut Dadang, sandera badan atas SC dilakukan karena sebagai penanggung pajak, ia tidak menunjukkan iktikad baik untuk melunasi tunggakan pajak PT DGP. Padahal, sepanjang 2005-2014, DJP telah melakukan berbagai langkah, mulai dari surat teguran, pencegahan ke luar negeri, sampai pemblokiran harta. SC bukan penanggung pajak satu-satunya.
"Yang satu lagi di luar negeri," jelasnya.

Untuk itu, pemerintah sudah bekerja sama dengan kepolisian setempat.

DJP sebelumnya telah menetapkan 9 penanggung pajak yang akan dikenai gijzeling. Total utang mereka Rp13,6 miliar. DJP pun kini sedang meneliti 56 penanggung pajak yang potensial untuk disandera. Mereka memiliki tunggakan minimal Rp100 juta dan tidak kunjung memperlihatkan iktikad baik untuk melunasinya.

"Penagihan paksa akan dilakukan ke semua pihak, tidak pandang bulu. Dulu teman-teman di lapangan kurang berani karena takut dengan media gara-gara Gayus, sekarang harus berani," tutur Dadang.

Hal tersebut, lanjutnya, selain demi peningkatan kepatuhan wajib pajak, juga untuk memenuhi target penerimaan negara. Tahun ini pemerintah membidik target penerimaan pajak Rp1.244,7 triliun.

Dadang menambahkan, potensi dari penagihan dengan cara pencekalan dan gijzeling akan mencapai Rp5 triliun. "Secara keseluruhan piutang yang bisa ditagih tahun ini Rp21 triliun," jelasnya.

Sanksi sosial
Dalam kesempatan terpisah, pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis Jakarta Yustinus Prastowo menyarankan pemerintah untuk membeberkan identitas penunggak pajak. "Paksa badan justru harus jadi sanksi sosial, artinya di-publish saja identitasnya."

Pembongkaran identitas tersebut bisa membawa kerugian bagi penunggak pajak secara bisnis. Pihak luar pun akan lebih mudah mengetahui hal tersebut.

Prastowo juga menilai gijzeling yang dihidupkan lagi ini belum tentu efektif meningkatkan kepatuhan wajib pajak, atau memberi efek jera kepada penunggak pajak lainnya. Apalagi, ia melihat masa sandera selama 6 bulan dapat menimbulkan ongkos. "Menahan orang kan enggak gratis. Apalagi sekarang bisa saja menjalankan bisnis tanpa kehadiran fisik," ujarnya.

Maka, pemerintah harus lebih dulu memperlihatkan konsistensi. Bukan sekadar memanfaatkan momentum untuk menggenapi target pajak. "Kalau bisa, ambil 2-3 besar penunggak dari setiap kanwil (kantor wilayah) secara bersamaan. Yang penting mengirim sinyal kepada penunggak pajak bahwa pemerintah serius," ucap Prastowo.(Ant/E-2)