Kompetisi akan Ketat di Manufaktur

Penulis: MI/IRENE HARTY Pada: Minggu, 01 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Kompetisi akan Ketat di Manufaktur

ANTARA
industri manufaktur

PENGUATAN industri manu faktur dalam negeri menjadi kian urgen untuk disegerakan. Sebab, persaingan ketat akan terjadi pada sektor tersebut pada saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berlaku di akhir 2015.

''Tantangannya ialah competitiveness, persaingan akan lebih terbatas di manufacturing industry, tidak ada persaingan di natural resources,'' ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam seminar Peluang dan Tantangan Indonesia dalam MEA, di Jakarta, Jumat (30/1) malam.

Menurutnya, untuk menghadapi kompetisi yang mengetat, produktivitas industri manufaktur domestik perlu dipacu. Itu amat mungkin diwujudkan melalui pengembangan teknologi, kualitas sumber daya manusia, serta pengadaan infrastruktur yang mumpuni bersama investasi. Hasil akhir yang diharapkan, produk-produk industri yang berdaya saing tinggi dengan harga kompetitif.

''Dasar persaingan lebih baik ialah murah dan cepat. Yang menang ialah yang lebih baik, lebih cepat delivery-nya, dan lebih murah,'' kata Wapres.

Efisiensi juga akan optimal jika volume produknya besar. Hal tersebut bisa diwujudkan justru melalui MEA. Ia mencontohkan, dalam sektor otomotif Indonesia bisa memproduksi bodi mobil, semen tara mesinnya di Thailand. Hasilnya lantas menjadi satu komoditas andalan ASEAN untuk menyerbu pasar global. ''Industri apa pun, salah satu tingkat efisiensinya bekerja dalam volume besar,'' ucap Wapres.

Tiga sektor
Dalam kesempatan serupa, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengamini peran krusial industri manufaktur di dalam MEA.Menurutnya, paling tidak ada tiga sektor manufaktur Indonesia yang siap bersaing di lingkup regional.
Pertama, industri manufaktur yang berbasis sumber daya alam. Selama ini Indonesia lebih cenderung mengekspor dalam bentuk barang mentah. Itu harus dihindari sebab hanya akan menguntungkan negara lain.

Kemudian, lanjutnya, industri manufaktur yang berbasis konsumsi masif. Pendekatan itu menurut Bambang adalah pendekatan yang digunakan Tiongkok. Indonesia yang memiliki pasar konsumen yang masif pun bisa memanfaatkannya. ''Dalam teori economies of scale, makin banyak kita memproduksi, makin bagus skala ekonominya, cost per unit makin rendah,'' papar Bambang.

Negara-negara tetangga, lanjutnya, tidak punya 'kemewahan' berupa pasar besar. Dengan begitu, akan lebih sulit bagi industri manufaktur mereka untuk memangkas cost per unit.

Berikutnya ialah industri manufaktur untuk barang substitusi impor. Namun, bukan sembarang barang impor. Manufaktur itu harus difokuskan kepada bahan baku dan barang modal yang dimanfaatkan untuk infrastruktur.

''Umpama, percuma kita punya galangan, kalau tidak ada kapalnya.Daripada impor, kita bangun substitusi kapal. Atau untuk pembangkit listrik, kalau kebutuhan boiler, turbin, dan trafo bisa dikembangkan di Indonesia, industri akan hidup,'' tutur Bambang.

Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo B Sulisto sepakat tiga jenis sektor manufaktur yang disebutkan Menkeu perlu didorong. ''Industri-industri itu juga yang banyak menghemat devisa,'' ujarnya.

Menurut Suryo, aspek penting lain yang perlu dipikirkan pemerintah untuk mengembangkan industri manufaktur tersebut ialah insentif, baik insentif fiskal atau moneter.Pemerintah juga diminta memerhatikan suplai sumber daya manusia yang memadai. Jangan sampai perkembangan industri terhambat karena menunggu ketersediaan di dalam negeri. (Dro/Ire/E-2)