Labora dan Tamparan Demokrasi

Penulis: Umbu TW Pariangu, Dosen Fisipol Undana, Kupang Pada: Sabtu, 14 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Labora dan Tamparan Demokrasi

MI/Pata Areadi

PEMBEBASAN Labora Sitorus dari penjara Sorong, Papua Barat, seakan mencederai wajah penegakan hukum dan demokrasi kita. Masalahnya surat keterangan bebas hukum yang dikeluarkan LP Sorong baginya ternyata penuh rekayasa. Ia divonis 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan oleh Mahkamah Agung pada 2014 atas kasus melakukan pencucian uang, penimbunan bahan bakar minyak, dan pembalakan liar kayu.

Diduga kuat, Labora bertindak tidak sendirian untuk mendapatkan surat bebas hukum alias ada jaringan besar yang membekingi terbitnya surat palsu pembebasan Labora. Bahkan, Kejaksaan Negeri Sorong sulit mengeksekusi putusan MA dengan alasan mengantongi surat bebas dari lembaga pemasyarakatan.

Menkum dan HAM Yasonna Laoly berpendapat bahwa Labora sudah seperti raja- raja kecil di Raja Ampat. Ia dianggap memiliki pengaruh yang kuat karena berhasil menopang sistem penghidupan bagi warga masyarakat di sana. Bahkan dua jurnalis swasta sempat ditahan karyawan Labora saat hendak menemui kerabat Labora di pabrik pengolahan kayu miliknya di Tampa Garam, Sorong, Papua Barat. Mereka diwajibkan memuat pernyataan sikap dari Labora sebab selama ini pemberitaan selalu datang dari satu sisi, sementara Labora dikesampingkan, padahal hak jawabnya begitu penting. Dalam wawancaranya, Labora mengatakan dirinya hanyalah tumbal dari permainan sejumlah petinggi di Markas Besar Polri dan Polda Papua (Metrotvnews.com, 6/2).

Teori power cubs
Artinya, tak mungkin ia ujug-ujug bebas tanpa didomplengi orang besar yang menguasai jaringan utama penegakan hukum. Hal itu masuk di akal mengingat dalam sidang di Pengadilan Negeri Sorong, majelis hakim sempat meloloskan Labora dari dakwaan kasus pencucian uang. Ia hanya dinyatakan melanggar Undang-Undang Migas karena menimbun bahan bakar minyak dan Undang-Undang Kehutanan karena melakukan pembalakan liar.

Di pengadilan tingkat pertama itu, Labora divonis 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 6 bulan kurungan. Fakta lainnya, agak mengherankan, memang, karena walau aparat keamanan di Sorong sudah tahu tempat keberadaan Labora selama ini, bukannya langsung menangkap dan menahan Labora, mereka malah masih menempuh langkah persuasif untuk mengeksekusinya.

Di balik langkah persuasif itu pasti ada udang di balik batu. Apakah hanya akal-akalan supaya publik tak mencium ada permainan konspiratif? Ataukah memang sikap moderat aparat terhadap Labora sedang dikendalikan kekuatan tertentu. Apa pun itu, kasus Labora mengindikasikan api dalam sekam penegakan hukum dan demokrasi. Politik dan hukum di negeri ini masih sumbing untuk rakyat jelata, tapi sangat melunak untuk orang-orang berkantong tebal.

Mentang-mentang memiliki jabatan dan status yang wahid, segala norma dan prosedur hukum dan etika demokrasi dengan mudah dikangkangi. Yang mengerikan, hukum sejauh ini sudah dijilat para mafia politik dan pemodal yang berkeliaran di berbagai penjuru institusi hukum untuk merekayasa pasal-pasal demi mengamankan kepentingan diri/kelompok. Mereka melakukannya karena memiliki privilege dan kekuasaan untuk mendikte dan menakut-nakuti para serdadu hukum level bawah yang masih berjiwa bening.

Menurut teori power cubs (kubus kekuasaan) yang dikemukakan Johan Gaventa (Alim, 2014), salah satu pembentuk 'kardus kekuasaan' adalah beroperasinya model kekuasaan tak terlihat (invisibilitas) yang diisi para elite pemegang kekuasaan atau jaringan para orang kuat lewat hubungan mutualisme kepentingan dan garansi perlindungan di antaranya agar saluran dan proses distribusi modal ekonomi dan kekuasaan tetap lancar dan menjamin keuntungan. Pola kekuasaan destruktif itu terus terbangun selama watak korup dan predatoris ditoleransi.

Kuak seterang-terangnya
Saatnya jaringan kuat di belakang Labora dibongkar untuk menyibak segala misteri persekongkolan. Pemerintah dalam hal ini Kemenkum dan HAM harus mengusut motif dan pelaku di balik terbitnya surat bebas yang dipegang Ajun Inspektur Polisi Satu Labora Sitorus. Dugaan bahwa ada jaringan yang melindungi polisi yang bertugas dan bermukim di Papua perlu dikuak seterang-terangnya, termasuk kemungkinan keterlibatan petugas LP Sorong. Itu bertujuan mempermudah mencari pintu masuk demi membongkar para mafia yang sedang melancarkan berbagai jurus mautnya. Bukan tidak mungkin itu ada kaitannya dengan skandal rekening gendut di tubuh Polri yang terkesan masih sukar disentuh.

Komnas Hak Asasi Manusia khususnya harus pasang badan melindungi Labora agar ia dengan leluasa bisa membongkar pihak mana saja yang terlibat dalam penerimaan aliran uang di balik kasusnya, supaya berbagai kerahasiaan kekuasaan yang ditutup rapat-rapat selama ini bisa terbongkar. Jaksa Agung jangan pernah gentar untuk segera mengeksekusi Labora sesuai dengan perintah undang-undang supaya skeptisisme publik terhadap hukum selama ini bisa terobati sebab sudah lama imajinasi keadilan di bangsa ini diobok-obok para penguasa dan pemodal.

Kasus Labora juga menjadi refleksi bagi pemerintah untuk meregister kasus-kasus yang dekat dengan kepemilikan rekening jumbo di berbagai jajaran pemerintahan baik sipil maupun militer, agar segera diusut tuntas. Jangan pernah membiarkan Labora-Labora lain menghunjam bangunan demokrasi kita sehingga gejolak ketimpangan yang masih merebak di Republik ini bisa dieliminasi. Masih banyak orang miskin yang menangis dan menderita di bawah kaki sekumpulan orang kaya yang memiliki kekuasaan dan kekayaan yang luar biasa.

Relasi ketimpangan itu bisa-bisa menampar wajah demokrasi dan pembangunan kita. Memang, menurut Gaetano Mosca, dalam masyarakat selalu terdapat dua kelompok, yakni kelompok yang memerintah dan yang diperintah. Namun, klasifikasi itu tak diperuntukkan menjustifikasi penguasaan modal dan properti hanya pada segelintir orang/kelompok karena jika demikian, ia akan merobek imajinasi luhur kebangsaan.

Tak dapat dimungkiri, masih banyak masyarakat berpendidikan minim yang mencari peruntungan nasib sebagai TKI di luar negeri karena sulit mencari pekerjaan untuk mendapatkan penghidupan layak di negeri sendiri. Kita harus marah dan bereaksi ketika advertensi 'pecat pembantu Indonesia' beredar di media sosial dan mendisputasi nalar sehat kita. Namun, di sisi lain advertensi tersebut ialah autokritik bagi pemerintah agar lebih militan membela dan menjamin perikehidupan anak bangsanya lewat kebijakan yang pro-poor serta menegakkan kembali prinsip-prinsip demokrasi dan kesetaraan sebagai jubah kebesaran yang membungkus setiap warga dari terik apatisme dan keserakahan sosial.