Ah, Singapura!

Penulis: Djadjat Sudradjat (Dewan Redaksi Media Group) Pada: Selasa, 03 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Ah, Singapura!

AFP/ROSLAN RAHMAN

MENYEBUT Singapura berarti berbincang tentang sebuah locus penuh nyaman sekaligus rasa gundah. Negeri yang berjejak pada sejarah Kerajaan Temasek, bagian dari Sriwijaya, itu kini tumbuh penuh daya pukau. Di bawah Perdana Menteri Lee Kuan Yew (1965-1990) Singapura yang didirikan Thomas Stanford Raffles pada 26 Januari 1819, tumbuh di luar perkiraan semula. Ia menjadi negeri kecil penuh wibawa. Sementara itu, Indonesia serupa raksasa tidur siang yang 'lupa' terjaga.

Namun, kita tahu Singapura tempat nyaman bagi para penjahat ekonomi Indonesia. Berkali-kali Indonesia meminta agar Singapura mengekstradisi para pengusaha hitam kita. Namun, Singapura tak pernah sudi menyepakati perjanjian ekstradisi.

Desember silam, misalnya, delegasi MPR kita melobi pemerintah Singapura agar memulangkan para penjahat ekonomi asal Indonesia. Singapura pun berjanji segera mengekstradisi para penjahat Indonesia, juga asetnya, jika ada bukti dan sudah berkekuatan hukum tetap. "Singapura tak mau aset-aset haram Indonesia berada di sini," kata Menlu Singapura K Shanmugam. Para anggota delegasi MPR itu pun seperti girang bukan kepalang. Singapura, katanya, sangat memahami Indonesia (mungkin memahami kebodohannya?).

Negeri jiran yang lepas dari Malaysia lima dasawarsa silam itu kini menjadi 'luar negeri' yang menjadi simbol gengsi orang-orang kaya Indonesia. Lee membangun negeri itu dengan kedisiplinan, kerja keras, ketertiban, dan kebersihan tinggi. Wajar jika negeri berpenduduk 4,8 juta jiwa itu menjadi negeri paling makmur seantero jagat setelah Qatar, Luksemburg, dan Norwegia. Lee juga jitu memanfaatkan berbagai kelemahan Indonesia dalam mengelola seluruh potensi alam dan rakyatnya.

Lembaga survei Merrill Lynch-Capgemini pernah menyebut sepertiga atau 18 ribu orang kaya Singapura yang berjumlah 55 ribu berasal dari Indonesia. Kekayaan pengusaha asal Indonesia itu tak kurang dari Rp800 triliun. Bisnis rumah sakit juga laris manis. Hampir separuh pasien rumah sakit di Singapura berasal dari Indonesia. Malangnya, berobat di Singapura juga jadi 'hobi' para orang kaya Indonesia. Dalam kondisi sakit, bahkan matinya orang kaya Indonesia, tetaplah Singapura yang untung.

Dunia pendidikan Singapura juga sangat agresif menarik orang kaya Indonesia. Tak kurang 20 ribu pelajar dan mahasiswa Indonesia tersebar di kampus-kampus Singapura. Dua setengah juta wisatawan kita membanjiri Singapura setiap tahun. Apa saja yang berbau Singapura dijamin laris-manis di Indonesia, termasuk barang-barang bekas. Inilah Indonesia, negeri inferior yang mengidap senomania akut.

Singapura juga menambah puluhan kilometer daratannya dengan pasir dari Indonesia. Baik yang resmi (dibeli murah) maupun yang tak resmi (mungkin dicuri). Di atas daratan baru itu dibangunlah aneka gedung: hotel, apartemen, kondominium yang dijual dengan harga selangit. 'Hebatnya' lagi, orang Indonesia jadi pembeli asing terbesar. Lengkaplah kebodohan kita.

Agaknya semakin korup para pemimpin Indonesia, semakin makmur Singapura.

Singapura, bagi saya, selain mengasosiasikan kenyamanan dan kemakmuran, juga memunculkan rasa sakit. Rasa sakitnya, tuh, di sini: di seluruh jiwa raga ini.