Patgulipat di Pelabuhan Wisata Batam (1)

Penulis: Msk/T-2 Pada: Senin, 23 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Patgulipat di Pelabuhan Wisata Batam (1)

MI/Hendri Kremer

Pengantar:

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap penyelewengan dana sea port tax di Pelabuhan Harbour Bay, Batam, yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp69,7 miliar dalam rentang 5 November 2006 hingga 14 Juli 2010. Itulah sebabnya banyak yang menyesalkan tindakan Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Media Indonesia menelusuri bagaimana modus pelaku menghilangkan hak negara di pelabuhan khusus pariwisata tersebut. Ini merupakan laporan pertama.

 

-----------------------------

 

PADA Kamis, 27 Desember 2012, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan telah menyetop penyidikan terhadap lima kasus sepanjang 2012. Empat kasus di antaranya, diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan tidak jadi dituntut karena kejaksaan tidak menemukan cukup bukti. Dan satu kasus lainnya, karena penyidik tidak mendapati unsur pidananya.

 

Seperti dijelaskan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat itu, Setia Untung Arimuladi,kasus yang dihentikan karena tidak cukup bukti adalah perkara Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Kementerian Hukum dan HAM, perkara dugaan korupsi pengalihan hak atas tanah milik Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, perkara dugaan tindak pidana penggelembungan harga tiket perjalanan dinas di Kementerian Luar Negeri pada tahun anggaran 2006-2009, dan perkara dugaan tindak pidana gratifikasi yang melibatkan sebuah perusahaan swasta di Aceh.

 

Perkara Sisminbakum dihentikan pada 5 Mei 2012, kasus di Bogor disetop pada 10 Desember 2012, kasus di Kemenlu mendapat SP3 pada 15 Februari 2012, dan kasus gratifikasi di Aceh disetop pada 7 Maret 2012. Sedangkan sebuah kasus lainnya adalah proyek pembangunan Pelabuhan Khusus Harbour Bay di Batam yang dihentikan pada 10 Desember 2012. Perkara ini dihentikan karena penyidik menyimpulkan tidak ada unsur pidana.

 

Padahal, berdasarkan audit yang dilakukan lembaga auditor negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus penyelewengan uang negara di Harbour Bay mengakibatkan kerugian dalam jumlah hampir Rp70 miliar. Auditor BPK menemukan kerugian negara Rp69,7 miliardalam rentang tiga tahun delapan bulan, yaitu sejak 5 November 2006 hingga 14 Juli 2010.

 

Berdasarkan dokumen hasil audit BPK yang diperoleh Media Indonesia menyebutkan, kasus ini bermula dari PT Citra Tritunas (CT) yang mengantongi izin pengoperasian pelabuhan khusus (pelsus) pariwisata. Sehingga, perusahaan itu hanya mengelola seputar pariwisata, misalnya, kapal-kapal pesiar yang bersandar.

 

Merekasebenarnya tidak diperkenankan melayani jasa penyeberangan reguler ke luar negeri. Jasa penyeberangan dari Batam-Singapura maupun Batam-Malaysia sebenarnya merupakan wewenang pelabuhan umum. Praktiknya, meski hanya mengantongi izin pelabuhan khusus pariwisata, CT tetap menjalankan bisnis seperti perusahaan yang mengantongi izin pelabuhan umum. Mereka memungutbiaya pass penumpang dan biaya jasa tambat sebagaimana pihak yang mengantongi izin penyeberangan reguler. Bedanya, pendapatan dari pungutan pass penumpang dan jasa tambat itu tidak disetor ke kas negara.

 

Nilai pass penumpang yang digelapkan CT diperoleh BPK dari data penumpang di Pelabuhan Harbour Bay yang tercatat di Kantor Imigrasi Batam. Dengan mengalikan total jumlah penumpang dengan tarif yang berlaku, didapat kerugian negara sebesar Rp2,183 miliar dan SGD9,218 ribu. Untuk penghitungan biaya jasa tambat yang ditilep  perusahaan yang dipimpin Jong Hua itu, BPK merujuk kepada data dari Kantor Pelabuhan Batam dan otorita Batam. Tidak hanya menemukan setoran yang digasak ke kas negara, BPK juga menemukan sejumlah penyimpangan lainnya. Seperti proses pemberian sejumlah zin terkait lokasi serta izin pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan Khusus Pariwisata Harbour Bay yang melanggar ketentuan berlaku.

 

Lembaga negara itu menguak manuver CT yang bisa mengantongi izin-izin terkait pelabuhan khusus pariwisata walaupun perusahaan itu tidak memiliki kegiatan usaha pokok di bidang pariwisata. Tidak hanya itu, kejanggalan lainnya ialah spesifikasi teknis Pelabuhan Khusus Pariwisata Harbour Bay tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan. Adapun spesifikasi yang dimaksud ialah terkait bobot kapal dan kedalaman kolam dermaga.

 

Upaya manajemen CT menilep pendapatan negara diduga direncanakan secara matang dan sistematis bersinergi dengan pihak penguasa saat itu. Konspirasi tersebut dimulai pada 19 April 2006 saat CT mengajukan permohonan izin operasi pelabuhan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut melalui surat No. 003/CT-PELSUS/IV/2006. Dalam tempo 6,5 bulan atau tepatnya 3 November 2006, Menteri Perhubungan yang saat itu dijabat Hatta Rajasa mengabulkan permohonan perusahaan tersebut.

 

Lewat Keputusan Menteri Perhubungan No. KP 358 tahun 2006, Hatta memberikan izin untuk mengoperasikan pelabuhan khusus pariwisata di Desa Teluk Jodoh, Kecamatan Batu Ampar, Batam. Namun izin itu hanyalah kamuflase. Dalam realisasinya, CT tidak menjalankan fungsi pelabuhan khusus pariwisata, tapi sebagai pelabuhan umum yang melayani penyeberangan Batam-Singapura dan Batam-Malaysia. Di sinilah upaya menggasak penerimaan negara mulai dilakukan. Manuver manajemen CT tercium oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam laporan hasil audit operasional, BPKP mengungkapkan CT dengan sengaja menyalahgunakan izin pengoperasian pelabuhan khusus pariwisata.

 

Kementerian Perhubungan yang saat itu bernama Departemen Perhubungan bereaksi. Untuk merespons hasil audit BPKP, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut pada 31 Januai 2007 mengeluarkan surat No.PU 60/118/DTPL.07 kepada Kepala Kantor Kelas I Batam untuk mengawasi pengoperasian pelabuhan milik CT. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil. CT tetap memungut pass pelabuhan dan jasa tambat tanpa menyetorkan ke kas negara.

 

Tindakan itu terus berlangsung hingga akhir 2012. BPK merinci, bisnis ilegal yang dijalankan manajemen CT tersebut menyebabkan negara menderita kerugian atas pungutan pass penumpang sebesar Rp2,183 miliar dan SGD9,218 ribu serta pungutan jasa tambat senilai US$59,149. Penghitungan kerugian negara berdasarkan data penumpang yang menggunakan Pelabuhan Harbour Bay di Kantor Imigrasi Batam. Sedangkan penghitungan biaya jasa tambat, BPK merujuk kepada data dari Kantor Pelabuhan Batam dan otorita Batam. PT CT yang dipimpin Jong Hua tidak hanya menghilangkan setoran ke kas negara, BPK juga menemukan sejumlah penyimpangan lainnya.

 

Dalam proses pemberian sejumlah izin lokasi, pembangunan serta pengoperasian Pelabuhan Khusus Pariwisata Harbour Bay, juga melanggar ketentuan. CT yang mengantongi izin-izin terkait pelabuhan khusus pariwisata ternyata tidak memiliki kegiatan usaha pokok di bidang pariwisata. Kejanggalan lainnya menyangkut spesifikasi teknis Pelabuhan Khusus Pariwisata Harbour Bay yang tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan.

 

"Spesifikasi dimaksud terkait bobot kapal dan kedalaman kolam dermaga," demikian laporan BPK tanpa merinci detilnya. Kejagung semula memberi status tersangka kepada Jong Hoa selaku Direktur PT CT dan melakukan pencekalan selama hampir dua tahun. Akan tetapi, terhitung 10 Desember 2012, dia sudah bisa tersenyum kembali. Saat Media Indonesia menelusuri kasus tersebut di Batam, sejumlah warga menaruh harapan kepada Jaksa Agung yang baru, Prasetyo, agar membuka kembali penyidikan dugaan korupsi di Harbour Bay. (Mhk/T-2)