Dia yang Mencontohkan Wartawan juga Guru

Penulis: Usman Kansong Pada: Senin, 23 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Dia yang Mencontohkan Wartawan juga Guru

MI/SENO

IBU Toeti Adhitama, bagi saya dan teman-teman di Media Group, juga mungkin bagi kebanyakan orang yang mengenalnya, ialah guru.

Waktu saya di sekolah dasar pada 1976-1982, Ibu Toeti mengajari saya nama-nama pemimpin dunia, melalui acara Dunia Dalam Berita di TVRI. Saya tahu nama presiden Amerika Serikat dan Sekjen PBB waktu itu darinya. Ibarat guru home schooling, Ibu Toeti menyiarkan pengetahuan lewat Dunia Dalam Berita yang kita tonton di televisi di rumah sendiri, rumah tetangga, atau di kelurahan.

Perbedaannya jika dibandingkan dengan guru di kelas, Ibu Toeti tak pernah marah dan tak pernah memberi PR yang kadang memberatkan murid. Menurut saya, bagi Ibu Toeti, jurnalisme ialah sekolah dan para jurnalis ialah gurunya.

Di tengah berita televisi dewasa ini yang lebih mengedepankan hiburan dan kritik sosial, sangat sulit dicari penyiar berita, atau presenter dalam istilah sekarang, yang sekaligus guru, memberi informasi dan mengedukasi. Mungkin memang sudah bukan zamannya.

Sebagai penyiar, Ibu Toeti menjadi idola penonton, termasuk saya. Karena itu, saya seperti setengah percaya ketika saya menjadi rekan kerjanya di Media Group.

Meski usia kami terpaut jauh, Ibu Toeti rela bertandang ke ruang saya mendiskusikan banyak hal. Suatu kali, di awal 2012, di ruangan saya, ia mengajak saya mempertimbangkan memindahkan halaman opini di Media Indonesia ke bundel depan.

Sebelumnya, halaman opini kami ada di bundel belakang. Sebelumnya lagi halaman yang berisi tulisan kaum intelektual dan terpelajar ini diperlakukan seperti suku nomaden, berpindah-pindah halaman.

"Halaman opini itu berisi pemikiran dan pergulatan intelektual. Dia semestinya ditempatkan di halaman terhormat," kata Ibu Toeti kepada saya.

Dalam kesempatan pertama, saya pun mengubah konfigurasi halaman koran ini dan menempatkan di posisi terhormat di bundel depan hingga sekarang.

Kali lain, Ibu Toeti mengundang saya makan siang di satu restoran di dekat kantor. Saya ketika itu datang bersama Suryopratomo, Direktur Pemberitaan Metro TV. Ibu Toeti menyampaikan gagasan agar Media Group memiliki semacam panel ahli.

Dalam waktu yang tak terlalu lama, saya mewujudkan gagasan Ibu Toeti. Saya meminta kesediaan empat intelektual terkemuka negara ini untuk menjadi panel ahli. Dua bulan sekali, di hadapan kami, mereka mendiskusikan berbagai tema aktual. Ibu Toeti tak pernah absen menghadiri diskusi itu.

Ada dua tujuan diskusi panel ahli. Pertama, mengasah pengetahuan dan wawasan kami sebagai wartawan. Kedua, hasil diskusi menjadi bahan pemberitaan.

Guru, juga wartawan, memang harus cinta pengetahuan dan intelektualitas. Tanpa pengetahuan dan intelektualitas, apa pula yang akan diajarkan guru kepada murid-muridnya kecuali pengetahuan yang itu-itu saja. Tanpa pengetahuan dan intelektualitas, apakah yang akan ditulis wartawan kecuali berita yang itu-itu saja dengan sudut pandang yang miskin pula.

Ibu Toeti menunjukkan kecintaan pada pengetahuan, intelektualitas, juga buku. Dua kali saya berulang tahun, dia menghadiahi saya sejumlah buku. Salah satunya buku The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia karya Herbert Feith.

Saya percaya orang yang menjadikan buku sebagai kado pasti cinta buku. Ketika Ibu Toeti berulang tahun ke-78, 19 Januari 2013, saya memberinya kado buku fenomenal Why Nations Fail karya Acemoglu dan Robinson.

Pelajaran lain yang kami dapat dari Ibu Toeti ialah terus bekerja dan berkarya hingga usia senja. Dengan begitu, orang tetap bisa menjalani hidup secara bermakna dan berkualitas di masa tua.

Ibu Toeti selalu berupaya hadir dalam rapat dewan redaksi sebulan sekali. Ia juga masih menulis opini setiap Jumat. Siapa yang suka membacanya, ia akan mendapat kesan bahwa opini Ibu Toeti senantiasa berupaya mengabarkan dan menebarkan kebaikan buat Indonesia.

Namun, rapat Dewan Redaksi pada Desember 2014 menjadi rapat terakhir yang dihadiri Ibu Toeti karena kondisi kesehatannya. Tulisannya pada 26 Desember 2014 yang berjudul Doa-Doa Kita menjadi opini terakhir yang ditulisnya, juga karena kondisi kesehatannya. Opini yang ditulis sebagai penutup tahun 2014 itu hendak meyakinkan pembaca bahwa Tuhan akan mengabulkan doa-doa umatnya.

"Kalau boleh saya simpulkan, (opini) itu menjadi tanda buat Ibu Toeti pribadi," kata Redaktur Opini Media Indonesia, Eko Suprihatno, kepada saya, tadi malam.

Kemarin, ketika hari baru saja berganti, Prahastoeti atau Toeti Adhitama berpulang. Namun, ada ungkapan wartawan tak pernah mati. Sebagai wartawan, Ibu Toeti senantiasa hidup melalui karya-karya jurnalistiknya.

Sebagai guru, Ibu Toeti tetap eksis bila kita, yang merasa menjadi muridnya, mengamalkan dan merawat ajaran dan gagasannya. Menjadi kewajiban kita untuk terus menghidupkan ajaran dan gagasan Ibu Toeti.