Sistem Tata Negara Indonesia Karut-marut

Penulis: MI Pada: Selasa, 24 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Sistem Tata Negara Indonesia Karut-marut

ANTARA/ANDIKA WAHYU

ERA Reformasi yang sudah berjalan sekitar 15 tahun telah melahirkan sikap individualistis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu bertentangan dengan asas kekeluargaan yang menjadi landasan lahirnya bangsa Indonesia yang dipelopori oleh pendiri bangsa.

Demikian benang merah dalam diskusi bertajuk Soepomo: Pergulatan Tafsir Negara Integralistik, Biogra Intelektual Hukum Adat, dan Konstitusionalisme, di Jakarta, kemarin. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung, Sunaryati Hartono menjelaskan lunturnya nilainilai penting kebangsaan tersebut dapat dilihat dari semakin ditinggalkannya asas mufakat dalam kehidupan bernegara saat ini. Padahal, itu ciri khas kebudayaan Indonesia sesuai sila keeempat Pancasila.

''Keputusan yang bertujuan menghasilkan produk hukum, seperti undang-undang, tidak lagi menggunakan musyawarah. Voting kerap dijadikan jalan pintas. Artinya demokrasi semakin menjauh dari cita-cita UUD 1945,'' tutur Sunaryati. Voting itu sendiri tidak selalu menghasilkan keputusan yang terbaik bagi masyarakat karena sering kali ditunggangi misi khusus. Dicontohkan, proses voting di DPR yang didominasi oleh kepentingan pimpinan partai.

Penilaian yang sama dikemukakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie. Sosok yang juga aktif memberikan sumbangsih dalam perjalanan ketatanegaraan di Indonesia itu mengatakan setelah amendemen keempat UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia semakin karut-marut. Referensi normatif hukum dan konstitusi bukan lagi UUD 1945, melainkan UU dan peraturan pemerintah.

''Ketentuan UUD 1945 hanya 71 ayat, dari amendemen ke-4 dihasilkan 199 butir ketentuan. Yang tidak diubah cuma 25 ayat, 174 ayat baru semua. Sistem norma hukum kita berubah 300%. Akibatnya, sistem referensi normatif berubah, UU dan PP menjadi rujukan,'' ucapnya.

Dampak lainnya, MPR tidak dinyatakan lagi secara tegas sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. ''Ada anomi, keadaan tanpa norma, mulai lembaga tertinggi MPR sampai desa berubah,'' tukasnya. (*/P-2)