Harga Nyawa Berbeda bak Bumi dan Langit

Penulis: Administrator Pada: Jumat, 27 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Harga Nyawa Berbeda bak Bumi dan Langit

ANTARA/R. Rekotomo

KECELAKAAN penerbangan Air Asia yang terjadi akhir tahun lalu begitu menyedot perhatian. Berminggu-minggu pemberitaan mengenainya mendominasi halaman-halaman surat kabar dan layar televisi.

Sebanyak 172 nyawa hilang. Indonesia pun menjadi muram selama beberapa waktu. Namun, tidak banyak yang tahu, atau barangkali abai, bahwa kecelakaan di darat menelan korban yang jauh lebih besar. Di Indonesia, setiap harinya 72-73 orang, atau setara dengan 3-4 orang setiap jamnya, tewas di jalan raya akibat kecelakaan lalu
lintas.

“Dalam dua hari, orang yang meninggal karena kecelakaan di jalan bisa sejumlah itu (kecelakaan Air Asia). Beberapa waktu lalu, 18 tewas karena kecelakaan bus, tapi beritanya lewat begitu saja,” tutur Direktur Jenderal (Dirjen) Perhubungan Kementerian Perhubungan Djoko Sasono saat mengunjungi Kantor Media Group di Jakarta,  kemarin.

Kurangnya perhatian masyarakat pada kasus kecelakaan lalu lintas menunjukkan betapa harga nyawa di darat dan di udara seperti bumi dan langit.

Direktur Keselamatan Transportasi Darat Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, I Gede Pasek Suardika, menambahkan kepolisian mencatat 28 ribu kejadian kecelakaan lalu lintas dalam setahun. Namun, hasil riset doktoral menyebutkan angkanya bahkan lebih tinggi sampai tiga kalinya.

“Bisa 40 ribu-50 ribuan kejadian. Hal itu seharusnya menjadikan kita alert dan waspada dan prihatin terhadap
yang terjadi,” papar Suardika.

Yang lebih menyedihkan korban didominasi usia produktif, 15-44 tahun. Itu terjadi pada kecelakaan
yang dialami pengendara kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor. Untuk pejalan kaki, sebagian besar korban kecelakaan ialah anak-anak usia 5-9 tahun dan kelompok usia lanjut 70-74 tahun.

Persoalan keselamatan bukan satu-satunya yang terdistorsi oleh diskriminasi. Kenyamanan pun demikian. Djoko mencontohkan kasus keterlambatan penerbangan. Masyarakat ribut ketika terjadi delay beberapa jam.

“Padahal, di terminal-terminal sudah biasa ibu-ibu atau penumpang lainnya menunggu sampai 7 jam, busnya tidak
datang-datang. Tapi tidak ada yang ribut,” tutur Djoko.

Menurut Djoko, sikap nrimo tersebut akibat terlampau terbiasanya masyarakat dengan layanan transportasi darat yang buruk. Itu merupakan hal yang secara bertahap akan diubah Kemenhub. Berbagai kebijakan disiapkan, termasuk
kewajiban semua angkutan umum memakai pendingin udara dan menutup pintu. Pun, ada kewajiban memenuhi aturan laik jalan.

Djoko mengingatkan fi losofi dasar dari seluruh kebijakan tersebut ialah untuk memanusiakan manusia. Meski  diakui berpotensi mendorong kenaikan tarif, hal tersebut tidak menjadi soal seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. (Dero IqbalMahendra/E-1)