Lentera dan Sejahtera

Penulis: MI/Iwan J Kurniawan Pada: Minggu, 01 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Lentera dan Sejahtera

Grafis Ebet

SUASANA Tahun Baru Imlek masih hangat terasa. Masyarakat Tionghoa di Indonesia pun masih menjadikan tahun Kambing Kayu sebagai sebuah harapan baru untuk menjalankan hari-hari penuh rahmat. Berbagai ucapan lewat kartu pos hingga aplikasi pesan via ponsel pintar pun menjadi wadah bagi mereka yang ingin bertegur sapa. "Saya sengaja mengirimkan ucapan Imlek lewat kartu pos karena lebih romantis. Sekarang tidak bisa ikut upacara di Kalimantan," tutur Tan Lai, 45, warga Pontianak yang sudah bertahun-tahun merantau ke Jakarta, pertengahan pekan ini. Di balik derunya kehidupan di era serbadigital ini, Tan memang menjadi sosok yang santai. Ia pun mengaku perayaan Imlek sebagai sebuah tabir baru untuk menjalankan hari-hari berikutnya dengan harapan dan doa. Di kota-kota besar, nuansa Imlek memang terasa di ruang publik.

Di pusat perbelanjaan modern, berbagai dekorasi hingga ornamen sedikit menggoda mata. Warna merah yang menjadi ciri khas telah membuktikan Imlek merupakan perayaan komunal. Bagi yang bukan berdarah Tionghoa, toh tidak dilarang untuk ikut merasakan kebahagiaan, bukan? Ada ritus dan tradisi lama masyarakat Tionghoa yang sudah berakar berabad-abad silam. Salah satunya ialah Po Un. Ritual keagamaan bagi umat Konghucu itu rutin dilaksanakan secara bebas setiap tahun. Kemajemukan dan keberagaman budaya Tionghoa memang tak bisa terlepas dari peranan mendiang Gus Dur. Ritual Po Un dimulai sejak empat hari pasca-Imlek hingga menjelang Cap Go Meh. Gelaran pun berlangsung di berbagai kota seperti Surabaya, Jakarta, Pontianak, Jambi, dan Yogyakarta. Makna dalam ritus itu tidak hanya bermakna kebahagiaan, tetapi terus-menerus meningkatkan ketaatan umat kepada Sang Pencipta.

Di Kelenteng Sei Ce Tien, Jambi, misalnya, umat Konghucu selalu melakukan ritual Po Un. Itu merupakan upacara tolak bala. Mereka pun percaya pelaksanaan upacara itu dapat menghindarkan seseorang dari berbagai persoalan besar di tahun Kambing Kayu. Proses ibadah memang menjadi penting. Umat Konghucu pun menunaikan doa-doa yang dipanjatkan bagi Dewa Fu Xi. Ritual Po Un kali ini cukup istimewa. Li Tek Cong, thaushe dari Negeri Tiongkok, sengaja diutus khusus untuk menjadi saekong (utusan pemimpin ritual keagamaan). Dalam sebuah video, saekong tampak membacakan doa demi doa. Ia berjalan secara tenang mengelilingi rute sederhana di ruangan kelenteng. Ia begitu serius membaca mantra-mantra sambil membunyikan lonceng kecil di tangan kanannya. Tak lama kemudian, ia meniup trompet hitam yang terbuat dari tanduk kerbau. Umat pun ikut berjalan mengikuti saekong. Semuanya membawa peralatan sembahyang berupa kemenyan yang dibakar. Suasana ritus dan sakral begitu tampak pada prosesi Po Un di kelenteng tersebut.

Tradisi di negeri seberang
Selain Po Un, sesungguhnya perayaan Lentera menjadi suguhan menarik. Ini masih berlangsung di kawasan pecinan di George Town, Penang, Malaysia, misalnya. Saya sempat melihat aktivitas warga setempat mempersiapkan berbagai makanan dan ornamen berupa lampion untuk menyambut Imlek, termasuk ritualnya, di sana. Kebetulan, warga di sana merupakan suku Hokkian. Perayaan Lentera (Shang Yuan atau Xiao Guo Nian) juga dikenal sebagai Tahun Baru Kecil. Perayaan itu digelar selama 15 hari setelah Imlek. "Semua warga di sini merupakan orang perantauan dari Tiongkok. Mereka berpendidikan rendah dengan menempati rumah-rumah di tepi laut (rumah panggung). Meski sudah di negeri lain, tradisi Tionghoa masih bertahan," ujar Rhoda Wong, salah satu teman asal Singapura yang juga bertandang ke Penang, dua pekan lalu. Perayaan Lentera bermula pada masa pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han.

Konon, di Istana Wu Di tinggal seorang pembantu istana bernama Yuanxiao. Yuanxiao ingin menjenguk keluarganya. Sayang, ada aturan yang melarang semua pembantu berpelesir meninggalkan istana. Beruntung Yuanxiao memiliki teman seorang menteri bernama Shuo Dongfang. Dia seorang yang cerdik dan selalu membantu orang-orang yang tidak berdaya. Shuo akhirnya berkata kepada kaisar bahwa Dewa Surga telah memerintahkan kepada Dewa Api untuk menghancurkan Kota Changan pada tanggal 15 bulan 1 tahun Imlek. Satu-satunya cara untuk menenangkan sang dewa ialah dengan memberikan persembahan kembang api, membunyikan petasan, dan mempertontonkan lentera-lentera berwarna merah. Untuk membuat persembahan memuaskan hati sang dewa, semua orang di kota harus turut serta. Dewa Api juga sangat menyukai kue nasi lengket.

Khususnya yang dibuat Yuanxiao, yang juga dianjurkan Shou agar dipersembahkan secara langsung. Beruntung, sang kaisar memercayai kebohongan itu dan memerintahkan Kota Changan mempersiapkan semuanya. Pada hari yang disepakati, penduduk kota menyalakan kembang api dan memasang lentera-lentera. Mereka bersukaria sepanjang malam. Yuanxiao pun mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan istana dan mengunjungi keluarganya sementara waktu. Sang kaisar menaruh hati atas perayaan tersebut. Ia pun memerintahkan perayaan serupa dilakukan pada tahun berikutnya. Yuanxiao pun menyanggupi tugas untuk membuat kue nasi lengket yang lezat dan legit. Tak mengherankan, perayaan Lentera, pada tanggal 15 bulan pertama tahun Imlek, menjadi sebuah hari bagi perayaan besar sampai hari ini. Masyarakat Tionghoa merayakan bulan penuh pertama secara sukacita. Mereka berkumpul bersama sanak famili demi menjaga ikatan tali kebahagiaan. Kue nasi lengket yang dimakan sampai saat ini dinamakan Yuan Xiao untuk mengingat pembantu istana tersebut. Sebuah legenda masih mereka perbincangkan sehingga melekat erat bagi warga Tionghoa yang merayakannya. "Makanan khas Imlek selalu tersuguhkan demi kebersamaan dan kebahagiaan anggota keluarga," ucap Rhoda.