Semua Serasa di Luar

Penulis: MI/RIZKY NOOR ALAM Pada: Minggu, 01 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Semua Serasa di Luar

MI/BARY FATHAHILAH

JIKA tidak melihat perabot dan dinding, berada di rumah Agus Pratama Sari serasa melintas alam. Jika bukan dari kayu, lantainya terbuat dari batu alam dengan permukaan yang dibiarkan kasar, mirip lantai di candi-candi. Bahkan di kamar mandi, lantainya berupa batu kerikil lepas. Area pancurannya seperti bilik mandi di desa yang terbuat dari susunan papan kayu. Jejak modernitas baru hadir lewat shower dan bathtub segitiga. Kuatnya unsur alam itu merupakan gambaran kecintaan Agus. Kepala Deputi Perencanaan dan Pendanaan Badan Pengelola REDD+ itu mengatakan, "Yang saya mau buat itu konsepnya memang meniadakan batas antara luar dan dalam rumah, jadi kita membawa suasana luar rumah ke dalam karena saya suka untuk duduk-duduk di luar," kata Agus kepada Media Indonesia, Sabtu (22/2). Dari luar, tampilan rumah yang terletak di Sentul City, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu pun sudah mencolok dengan nuansa natural.  Berdiri di atas tanah seluas 1.000 meter persegi, tanaman tidak hanya merimbun di halaman tetapi juga seperti muncul di tiap sudut rumah. Hal itu tampaknya juga didukung dengan konsep rumah yang terdiri dari dua bangunan yang ihubungkan dengan jembatan kayu.

Maka meskipun kedua rumah memiliki dua lantai, kesannya tidak angkuh. Pada rumah depan, ruang tamu menyatu dengan dapur. Kesejukan di dalam rumah itu seperti tidak jauh berbeda dari di luar rumah. Selain karena pengaruh lantai batu alam, kesejukan itu buah dari jendela-jendela besar tanpa teralis. Di sisi lain, ada pintu-pintu kaca yang dapat dilipat hingga ke sudut. "Sudah tidak ada pembatas lagi mana luar dan dalam, seolah-olah kayak camping saja gitu," tambah Agus soal keterbukaan itu. Dapurnya sendiri bahkan sulit dikalahkan hotel bintang lima. Ini bukan semata karena perabot jati yang bersanding dinding batu alam. Bintang utama dapur itu ialah pemandangan di hadapan meja makan. Dari jendela besar yang menghadap ke barat itu terhampar cantiknya Gunung Salak. Bukankah sangat membuat iri jika setiap hari kita bisa menikmati kudapan berteman sunset?

Tangga di luar
Kemegahan alam itu juga bisa dinikmati di kamar tidur utama yang berada di lantai dua. Di kamar tidur yang luas itu jendela lebar juga menghadap ke barat. Di sisi utara juga terdapat jendela yang menghadap ke danau kecil di seberang rumah. Suasana romantis pun bisa dihadirkan lewat perapian yang berdekatan dengan tempat tidur. "Dulu paling tidak 1 atau 2 hari dalam setahun kita pakai karena masih dingin di sini, apalagi kalau jendela-jendelanya dibuka sehingga  anginnya menambah suasana dingin, sekarang sudah agak kurang dinginnya," papar Agus ditemani sang istri. Namun, untuk menuju ke lantai dua tersebut, kita harus melewati tangga yang berada di luar rumah. Bagi pria kelahiran 2 Agustus 1966 itu, letak tangga tersebut wujud konsistensi dari konsep rumahnya.

"Untuk ke mana-mana kita harus ke luar dulu. Jadi, sentral kegiatan di dalam rumah itu adanya di luar. Kalau misalnya dari kamar tidur mau ke dapur atau ruang tamu, harus ke luar dulu," cetusnya. Makna dari konsep rumah Agus sebenarnya tidak berhenti pada tampilan yang alami. Semua itu dilakukan juga dengan tujuan kelestarian lingkungan. Dengan penggunaan dinding batu alam, ia meminimalkan penggunaan cat tembok. Dengan jendela-jendela besar, rumah itu sejuk tanpa AC. Agus pun menerapkan penghematan air dengan memanfaatkan air hujan. Air hujan yang tertangkap di talang rumah disalurkan ke tangki yang terletak di belakang. Air itu kemudian dijernihkan dengan teknologi reverse osmosis (RO) yang dapat menyaring hingga bakteri berbahaya.

Dari situ barulah air digunakan untuk mencuci hingga untuk air minum. Rumah yang dimilikinya sejak 2000 tersebut membutuhkan waktu sekitar 4-5 tahun untuk pembangunannya. Meski banyak menggunakan material kayu, menurut Agus, biaya pembangunan rumah itu relatif tidak terlalu mahal. Porsi besar biaya diakuinya untuk material kayu. Agus tidak menggunakan sembarang kayu, tetapi kayu yang memiliki sertifikat lacak balak. Sertifikat tersebut menjadi bukti kayu tersebut  bukan dari pembalakan liar. Kayu jati hanya digunakan di dalam ruangan. Sementara itu, untuk bagian yang terpapar sinar matahari, ia menggunakan damar laut. "Harganya bisa 2-3 kali lipat harga kayu biasa di pasaran. Kalau pakai kayu biasa, ya, murah kok sebetulnya. Kalau batu-batunya sendiri gampang, materialnya sendiri masih bisa ditemukan dengan mudah," jelasnya. Rumah ramah lingkungan memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, manfaatnya untuk alam, jelas nilai yang jauh lebih tinggi.