Mendestruksi Begal Berdasi

Penulis: Micom Pada: Kamis, 05 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Mendestruksi Begal Berdasi

Antara

ELEMEN penegak hukum belakangan ini sedang gencar-gencarnya melawan begal jalanan.

Bahkan, beberapa anggota masyarakat atau sekelompok orang yang berhasil menangkap basah begal, langsung menghakiminya.

Ada begal yang babak belur dipukuli massa dan ada beberapa lainnya yang menemui ajal di tempat kejadian perkara (TKP).

Semestinya bukan hanya begal jalanan yang jadi prioritas, melainkan juga 'begal berdasi'.

Begal berdasi inilah yang telah membuat Indonesia mengalami karut-marut.

Sepak terjang begal berdasi ini seharusnya menjadi tantangan serius, bukan hanya untuk kalangan aparat penegak hukum, melainkan juga anggota masyarakat.

Di negeri ini, bajingan atau begal itu bermacam-macam.

Ada yang bergelar bajingan biasa dan ada yang 'begal berdasi'.

Bajingan elitis atau 'berdasi' ini menginginkan kekacauan karena dari kekacauan ini, banyak pihak yang tidak terfokus memikirkan dirinya.

Kalau semula dirinya masuk dalam ranah sebagai target penegakan hukum atau pengimplementasian sistem peradilan pidana (criminal justice system), berkat kekacauan yang menimpa institusi peradilan, akhirnya dirinya dilupakan atau diposisikan sebagai target 'kelas dua'.

Koruptor merupakan wujud sosok 'begal berdasi' atau sosok kriminal pintar yang lihai dan licin serta kejam dalam menghadirkan berbagai bentuk 'mainan' yang membuat masyarakat atau aparat negara kehilangan komitmen utamanya di bidang penegakan hukum (law enforcement).

Jika mereka tidak mampu menyikapi 'mainan' yang disajikan 'begal berdasi', pekerjaan utamanya dalam memberantas korupsi bisa tereduksi. Begal elitis yang nekat melakukan ini, tentu saja berelasi dengan jabatan.

Mereka bereksperimen mendesain kondisi yang semula terfokus kepadanya menjadi kondisi yang tidak mengancamnya.

Jika aparat penegak hukum secara terus-menerus menghadapi situasi itu, bukan tidak mungkin orientasi kinerjanya menjadi terganggu dan gagal.

Duri seperti ini memang sulit dicegah dari kemungkinan menyerang dan menjangkiti setiap penegak kebenaran. Pasalnya, di mana pun yang namanya kebenaran, para 'begal berdasi' tidak akan mungkin mau dikalahkan oleh aparat penegak hukum yang berintegritas.

Inilah yang pernah diingatkan oleh Niccolo Machiavelli, bahwa 'setiap penguasa harus terus-menerus menyumbat auman serigala yang bermaksud menutup pintu kebohongan dan kejahatan'.

Dalam telaah Firman (2012) juga disebutkan, bahwa akar penyebab utama terjadinya dan membudayanya korupsi hingga menjadi penyakit yang mencengkeram sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah berkat kehebatan dan militansi koruptornya dalam menjalankan aksi-aksi kriminalisasi sistemisnya, serta akibat aparat penegak hukum yang menoleransi, bersifat kompromistis, tidak benar-benar memelekkan mata untuk mengawasi sepak terjangannya (koruptor), atau tidak transparan dan maksimal saat menjaringnya.

Koruptor tidak akan berani melebarkan daya cengkeram kekuatan dan 'keperkasaannya' manakala sikap dan geraknya terus berada dalam pengawasan dan konsistensi sikap aparat penegak hukum.

Potret negara-negara lain yang terkenal sebagai negara bersih dan berwibawa adalah berkat maksimalisasi kinerja aparat penegak hukum atau tidak terlibatnya aparat dalam drama dan budaya korupsi yang diproduksi para 'begal berdasi'.

Mereka juga punya mental gigih, egalitarian, militan, serta independen dalam menegakkan norma yuridis.

Di negara-negara seperti itu tidak ditemukan dampak pembangunan yang mengerikan dan mengeksplosi (meledak) setiap tahun sebagai tradisi.

Secara umum, mereka menggunakan sumber dana rakyat, benar-benar untuk memenuhi kepentingan publik.

Pos dana yang dialokasikan untuk penanganan berbagai jenis bencana alam digunakan sesuai peruntukannya dan bukan dijadikan pos mengeksplosikan korupsi di mana-mana.

Sayangnya, 'begal berdasi' di negeri ini terproduksi secara berkelanjutan.

Kader-kader koruptor terus saja bermunculan.

Pepatah 'mati satu tumbuh seribu' menjadi bahasa yang tepat untuk menggambarkan kehebatan para 'begal berdasi' dalam menjalankan aksi dan regenerasinya.

Presiden Jokowi beberapa waktu mengingatkan bahwa korupsi telah mengakibatkan kerugian besar pada bangsa ini.

Pepatah itu terbukti dalam stratifikasi koruptor, seperti koruptor jembatan, koruptor alokasi penanggulangan bencana, koruptor dana pengungsi, koruptor bantuan sosial, koruptor rehabilitasi hutan, dan koruptor ruang terbuka hijau (RTH).

Ada lagi, koruptor hak-hak orang miskin, koruptor Century, koruptor pencucian uang hasil kejahatan, koruptor Hambalang, koruptor pengadaan Alquran, serta koruptor lainnya atas nama agama, atas nama orang miskin, atas nama pembangunan, dan yang lainnya ialah beberapa sosok koruptor di negeri ini yang menjadi aktor utama yang mengakibatkan kerugian besar di mana-mana.

Berbagai ragam 'begal berdasi' itu setidaknya dapat terbaca dalam data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa jumlah kasus korupsi cenderung menurun selama 2010-2012, tetapi kembali meningkat pada 2013-2014.

Pada 2010, jumlah kasus korupsi yang disidik kejaksaan, kepolisian, dan KPK mencapai 448 kasus. Pada 2011, jumlahnya menurun menjadi 436 kasus dan menurun lagi pada 2012 menjadi 402 kasus.

Namun, pada 2013, jumlahnya naik signifikan menjadi 560 kasus. Ada kecenderungan di tahun 2015 meningkat lagi.

Pasalnya, selama semester I-2014, jumlahnya sudah mencapai 308 kasus.

Beragamnya kasus korupsi itu tak lepas dari nekatnya seseorang atau sejumlah orang.

Mereka tidak takut berhadapan dengan siapa pun untuk memenangkan dan bahkan 'mengherokan' dirinya.

Stigma ini berkaitan dengan kemampuan uang yang diperolehnya.

Beberapa abad lalu, Aristoteles mengingatkan bahwa 'semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kebenaran, kesusilaan, keadilan, dan kepatutan'.

Pandangan filsuf asal Yunani itu mengingatkan tentang kebenaran rumus kausalitas (sebab-akibat) terjadinya dan maraknya kejahatan di masyarakat atau dalam kehidupan bernegara yang bersumber pada penahbisan uang.

Saat seseorang atau sekelompok oknum pejabat tergelincir pada praktik pemujaan atau pengabsolutan uang, maka norma apa pun, termasuk norma agama dan hukum bisa dilindasnya.

Cara barbar merupakan bagian dari opsi yang diharuskan dipilih untuk mengalahkan para pejuang kebenaran.

Magnet uang terbukti luar biasa bagi manusia (para oknum pejabat) negeri ini.

Pengaruhnya mampu menarik dan menjadikannya kehilangan kecerdasan moral, edukatif, spiritual, dan hukum.

Daya pesonanya membuat para pejabat takluk dan menyerah dikuasainya.

Sangat ironis, oknum elemen negara yang statusnya pintar secara edukatif atau terpelajar, ternyata bersikap senang dan arogan melibatkan dirinya dalam penyalahgunaan keuangan rakyat (negara).

Mereka itu rela menjadi koruptor dan tak merasa malu merendahkan dirinya terjerumus dalam kriminalisasi jabatannya.

Mereka berani kalahkan kepintaran atau kecendekiaannya dengan cara menggarong kekayaan yang bukan menjadi haknya.

Mereka bahkan nekat menggunakan opsi terus-menerus melemahkan setiap institusi yudisial mana pun (KPK, Kejaksaan, dan Polri) demi memproteksi kebejatan atau kebajingannya.

Para 'begal berdasi' itu tentu saja tidak mau menerima dikalahkan oleh praktik hukum objektif dan tidak diskriminatif yang terus-menerus mencoba ditegakkan oleh elemen institusi yudisial.

Supaya tidak kalah, mereka tentu bereksperimen secara berkelanjutan dalam menerapkan berbagai jurus yang dinilainya mampu membelokkan arah idealisme penegak hukum.

Terserah para pencinta negeri ini untuk menghentikan mereka, mau ikut-ikutan cara yang digunakan 'begal berdasi' yang bercorak 'het doel heiligt de middelen' (serba menghalalkan segala macam cara) ataukah menempuh pola militansi, tanpa takut mati menghadapi para pendestruksi total negeri ini.