Tarif Listrik tidak Naik

Penulis: Administrator Pada: Minggu, 08 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Tarif Listrik tidak Naik

ANTARA/Ahmad Subaidi

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) belum akan menaikkan tarif listrik, khususnya tarif listrik industri, kendati biaya operasional membengkak. Direktur Utama PLN Sofyan Basir menegaskan hal itu ketika ditemui di Kementerian BUMN, Jakarta, kemarin.

"Memang ada masalah kurs, BBM (harga bahan bakar minyak) yang naik sedikit. Namun, menurut saya, tiga bulan ke depan kita belum berencana menaikkan tarif listrik (industri)," kata Sofyan.

Sofyan mengaku bingung dengan kabar tarif listrik akan naik per 1 April. PLN justru sedang memikirkan cara menurunkan tarif listrik perlahan-lahan. Penurunan tarif listrik nantinya akan berlaku ke semua industri.

"Supaya animo para pengusaha dan investor bisa lakukan perluasan. Kan tujuannya untuk (ciptakan lapangan) pekerjaan, pengangguran dikurangi," tambah Sofyan.

Di sisi lain, melemahnya nilai tukar rupiah telah membuat kerugian kurs mencapai Rp1,3 triliun dalam periode 4-5 bulan terakhir. Untuk mengatasinya, Sofyan menegaskan PLN belum akan menempuh penaikan tarif.

PLN akan melakukan efisiensi di internal perusahaan. Efisiensi antara lain dengan mengganti bahan bakar diesel dengan gas dan memaksimalkan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Salah satunya, sebut Sofyan, PLTU di Buleleng, Bali, yang baru saja rampung pembangunannya. Pengoperasian PLTU tersebut akan mengurangi biaya BBM untuk wilayah Bali.

Pada periode 2014, PLN tercatat meraih laba Rp11,7 triliun, berbalik dari 2013 yang membukukan kerugian Rp26,2 triliun. Kenaikan laba bersih didapat dari peningkatan laba usaha dan laba selisih kurs. PLN mencatat laba selisih kurs Rp1,3 triliun atau jauh lebih baik ketimbang pada 2013 yang mengalami rugi selisih kurs Rp48,1 triliun.

Kerugian itu terutama diakibatkan translasi liabilitas dalam mata uang asing yang didominasi dolar AS dan yen. Kini rugi kurs kembali membayangi.

Problem rupiah
Dalam kaitan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, ekonom Faisal Basri berpendapat fundamental perekonomian semestinya mendorong rupiah menguat, bukan sebaliknya seperti saat ini.

"CAD (defisit neraca transaksi berjalan) membaik, capital account akan tetap surplus. Logikanya rupiah seharusnya menguat," kata Faisal Basri dalam diskusi J-Club, di Jakarta, kemarin

Defisit sektor minyak dan gas (migas) Indonesia tahun ini sebesar US$10,6 miliar dengan asumsi US$75 dolar per barel dan pertumbuhan otomotif sekitar 5%. Jumlah itu, menurut Faisal, turun drastis dari tahun sebelumnya yang mencapai US$27,3 miliar. Defisit migas menjadi penyebab membengkaknya CAD.

Faisal juga mengatakan transaksi perdagangan Indonesia surplus selama dua bulan secara berturut-turut. Kondisi tersebut diproyeksikan terjadi hingga akhir tahun setelah tiga tahun sebelumnya selalu mengalami defisit. Kestabilan inflasi juga semestinya menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Faisal meyakini investor asing akan tetap menempatkan dana mereka di Indonesia sebagai negara berkembang walaupun bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) diperkirakan menaikkan suku bunga 25 basis poin pada Juni tahun ini.

Namun, ekonom Bank Permata Josua F Pardede menuturkan angka CAD yang masih defisit, kendati menurun, tetap menjadi biang keladi melemahnya kurs rupiah. "Barang dan jasa masih defisit menjadi pemicu memburu dolar AS," paparnya.

Apalagi, Bank Sentral Eropa merilis kebijakan akan menerbitkan stimulus 60 miliar euro per bulan. Pernyataan itu menyulut perpindahan aset ke dolar AS.