Fadli Zon Minta Pemerintah Fokus Bayar Utang Luar Negeri
Hindari Hipotiroid Kongenital pada Bayi
KEKHAWATIRAN para orangtua ketika menanti kelahiran anak ialah masalah kesempurnaan anak mereka ketika lahir. Salah satu kekhawatiran ialah terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi.
Gangguan tersebut bisa berbentuk tubuh cebol atau kerdil, lidah besar, bibir tebal, kesulitan bicara, hingga keterbelakangan mental.
Gangguan pertumbuhan itu biasa disebut hipotiroid kongenital (HK). HK merupakan kelainan pada bayi baru lahir karena kekurangan hormon tiroid. Keterlambatan mengembalikan fungsi tiroid normal pada bayi dapat menyebabkan kerusakan yang menetap pada otak.
Hormon tiroid berfungsi mengatur metabolisme tubuh. Hormon tersebut memengaruhi fungsi seluruh jaringan dan organ tubuh. Bila kekurangan tiroid atau hipotiroid sejak lahir, akibatnya perkembangan anak terganggu.
Gejala HK antara lain tubuh bengkak, ubun-ubun lebar, sakit kuning yang tak kunjung berkurang, dan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang lamban. Gejala itu tidak muncul ketika bayi baru lahir.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP-IDAI) Aman Pulungan mengutarakan rata-rata penderita HK memiliki IQ 76.
Menurut Aman, untuk mendeteksi apakah seorang bayi menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan, bisa dilakukan pemeriksaan screening HK.
''Screening hipotiroid kongenital dilakukan dengan pengambilan spesimen darah bayi. Idealnya ketika bayi berusia 48-72 jam,'' katanya pada workshop screening hipotiroid kongenital di Jakarta, Minggu (9/3).
Gejala HK pada bayi berusia sebelum 48 jam masih sulit terdeteksi karena tertutup hormon tiroid ibunya. Karena itu, deteksi baru dapat dilakukan setelah bayi berusia 48 jam.
Data rekam medis Klinik Endokrin Anak RSCM dan RS Hasan Sadikin menyebutkan sekitar 70% anak yang lahir terlambat melakukan screening. Mereka baru melakukan screening di atas usia satu tahun. Akibatnya, mereka berisiko menderita HK.
Kurang sarana
Kepala Subdirektorat Bina Kewaspadaan Penanganan Balita Berisiko Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan Nancy Dian Anggraeni mengutarakan screening HK telah diwajibkan pada setiap bayi yang baru lahir dan telah diatur dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes). Screening HK pun terbilang cukup murah di rumah sakit pemerintah, yakni Rp45 ribu per orang.
Screening HK, jelasnya, perlu dilakukan untuk menyiapkan generasi yang berkualitas dalam jangka. Tujuannya terutama pada masa Indonesia menghadap era bonus demografi (2025-2035), yakni terjadi ledakan sumber daya manusia (SDM) usia produktif yang mencapai 70% dari jumlah penduduk.
''Tanpa dilakukannya screening hipotiroid kongenital, dikhawatirkan potensi terjadinya anak-anak dengan degradasi mental semakin tinggi,'' tambah Nancy.
Saat ini, di Indonesia screening HK baru dilakukan sekitar 1% dari jumlah kelahiran. Di negara lain lebih tinggi, seperti di Tiongkok 54%, Filipina 50%, Vietnam 24%, dan Sri Lanka 80% hingga 90%.
Untuk itu, jelasnya, pemerintah melakukan sosialisasi mengenai hipotiroid kongenital dan gejalanya pada bayi. ''Di Indonesia, setiap 1 juta yang lahir ada 300 bayi dengan gejala hipotiroid kongenital. Dengan melakukan <>screening, bayi dengan hipotiroid kongenital yang lahir setiap tahunnya bisa diatasi,'' paparnya.
Aman menambahkan, banyak bayi yang tidak terdeteksi HK karena ketidaktahuan orangtua dan kurangnya sarana di rumah sakit atau klinik.
Menurut dia, tenaga medis seharusnya melakukan sosialisasi pengetahuan tentang HK kepada orangtua. ''Harus ada titik temu petugas kesehatan yang menaruh pada perhatian penyakit tidak menular seperti HK ini,'' ujarnya.
Ia menjelaskan, dengan melakukan screening, Indonesia bisa menyelamatkan anggaran yang diperkirakan mencapai US$6.000 per anak. Anak yang menderita HK harus mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB). ''Berapa banyak sekolah SLB yang harus dibangun?'' tandasnya.(H-1)
Gangguan tersebut bisa berbentuk tubuh cebol atau kerdil, lidah besar, bibir tebal, kesulitan bicara, hingga keterbelakangan mental.
Gangguan pertumbuhan itu biasa disebut hipotiroid kongenital (HK). HK merupakan kelainan pada bayi baru lahir karena kekurangan hormon tiroid. Keterlambatan mengembalikan fungsi tiroid normal pada bayi dapat menyebabkan kerusakan yang menetap pada otak.
Hormon tiroid berfungsi mengatur metabolisme tubuh. Hormon tersebut memengaruhi fungsi seluruh jaringan dan organ tubuh. Bila kekurangan tiroid atau hipotiroid sejak lahir, akibatnya perkembangan anak terganggu.
Gejala HK antara lain tubuh bengkak, ubun-ubun lebar, sakit kuning yang tak kunjung berkurang, dan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang lamban. Gejala itu tidak muncul ketika bayi baru lahir.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP-IDAI) Aman Pulungan mengutarakan rata-rata penderita HK memiliki IQ 76.
Menurut Aman, untuk mendeteksi apakah seorang bayi menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan, bisa dilakukan pemeriksaan screening HK.
''Screening hipotiroid kongenital dilakukan dengan pengambilan spesimen darah bayi. Idealnya ketika bayi berusia 48-72 jam,'' katanya pada workshop screening hipotiroid kongenital di Jakarta, Minggu (9/3).
Gejala HK pada bayi berusia sebelum 48 jam masih sulit terdeteksi karena tertutup hormon tiroid ibunya. Karena itu, deteksi baru dapat dilakukan setelah bayi berusia 48 jam.
Data rekam medis Klinik Endokrin Anak RSCM dan RS Hasan Sadikin menyebutkan sekitar 70% anak yang lahir terlambat melakukan screening. Mereka baru melakukan screening di atas usia satu tahun. Akibatnya, mereka berisiko menderita HK.
Kurang sarana
Kepala Subdirektorat Bina Kewaspadaan Penanganan Balita Berisiko Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan Nancy Dian Anggraeni mengutarakan screening HK telah diwajibkan pada setiap bayi yang baru lahir dan telah diatur dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes). Screening HK pun terbilang cukup murah di rumah sakit pemerintah, yakni Rp45 ribu per orang.
Screening HK, jelasnya, perlu dilakukan untuk menyiapkan generasi yang berkualitas dalam jangka. Tujuannya terutama pada masa Indonesia menghadap era bonus demografi (2025-2035), yakni terjadi ledakan sumber daya manusia (SDM) usia produktif yang mencapai 70% dari jumlah penduduk.
''Tanpa dilakukannya screening hipotiroid kongenital, dikhawatirkan potensi terjadinya anak-anak dengan degradasi mental semakin tinggi,'' tambah Nancy.
Saat ini, di Indonesia screening HK baru dilakukan sekitar 1% dari jumlah kelahiran. Di negara lain lebih tinggi, seperti di Tiongkok 54%, Filipina 50%, Vietnam 24%, dan Sri Lanka 80% hingga 90%.
Untuk itu, jelasnya, pemerintah melakukan sosialisasi mengenai hipotiroid kongenital dan gejalanya pada bayi. ''Di Indonesia, setiap 1 juta yang lahir ada 300 bayi dengan gejala hipotiroid kongenital. Dengan melakukan <>screening, bayi dengan hipotiroid kongenital yang lahir setiap tahunnya bisa diatasi,'' paparnya.
Aman menambahkan, banyak bayi yang tidak terdeteksi HK karena ketidaktahuan orangtua dan kurangnya sarana di rumah sakit atau klinik.
Menurut dia, tenaga medis seharusnya melakukan sosialisasi pengetahuan tentang HK kepada orangtua. ''Harus ada titik temu petugas kesehatan yang menaruh pada perhatian penyakit tidak menular seperti HK ini,'' ujarnya.
Ia menjelaskan, dengan melakukan screening, Indonesia bisa menyelamatkan anggaran yang diperkirakan mencapai US$6.000 per anak. Anak yang menderita HK harus mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB). ''Berapa banyak sekolah SLB yang harus dibangun?'' tandasnya.(H-1)