Pendanaan Partai tidak Jamin Tekan Korupsi

Penulis: Cah/Ant/P-1 Pada: Kamis, 12 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Pendanaan Partai tidak Jamin Tekan Korupsi

MI/TIYOK

WACANA Kementerian Dalam Negeri untuk membiayai partai politik sebesar Rp1 triliun setiap tahun dari APBN diyakini tidak akan menekan praktik korupsi.

Korupsi di Indonesia terjadi lebih disebabkan oleh kepentingan pribadi.

Sekretaris Jenderal Partai NasDem Patrice Rio Capella meragukan efektivitas bantuan pendanaan bagi parpol tersebut yang dikaitkan dengan upaya menekan tingkat korupsi.

"Dana Rp1 triliun itu tidak menjamin menekan korupsi," kata Patrice di Kantor DPP Partai NasDem Jakarta, kemarin.

Pernyataan Patrice itu menanggapi wacana yang dilontarkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang menyebutkan negara akan memberi pendanaan bagi setiap partai politik sebesar Rp1 triliun per tahun yang bersumber dari APBN.

Patrice mengatakan, selama ini politisi yang terjerat kasus korupsi mengaku melakukan praktik korupsi untuk mendanai partai.

Padahal, banyak politikus melakukan korupsi hanya untuk kepentingan pribadi.

"Lagi pula, saya mau tanya memang banyak mana antara politisi koruptor dan pejabat nonpartai yang korupsi? Memangnya mantan Ketua MK Akil Mochtar itu korupsi untuk menghidupi partai?" tanyanya.

Lebih jauh Patrice menilai bantuan Rp1 triliun dari APBN itu lebih elok baru diberikan kepada partai ketika utang luar negeri Indonesia sudah menurun, tingkat kesejahteraan rakyat meningkat, dan pengangguran sudah menurun.

Pendapat berbeda disampaikan politisi Gerindra, Fadli Zon.

Wakil Ketua DPR itu mengatakan pendanaan partai politik oleh negara bisa meminimalkan praktik korupsi karena partai diarahkan sebagai milik rakyat dan bukan individu.

Menurut Fadli, partai harus menjadi wadah publik dengan pembiayaan yang diambil dari APBN yang esensinya berasal dari rakyat.

Dalam penggunaannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus mengawasi dana partai itu dan partai harus juga berkewajiban melaporkannya seperti yang sudah dilakukan selama ini.

Dia menyarankan dana itu dibagi secara proporsional berdasarkan perolehan suara partai dalam pemilu, misalnya satu suara dikali Rp5.000-Rp7.000, lebih tinggi dibandingkan saat ini, yaitu Rp128 per suara.

Di kesempatan terpisah, Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengungkapkan kesiapan pihaknya untuk mengawasi penggunaan dana partai politik itu.

Apalagi, hal itu masuk dalam ranah kewenangan BPK, yakni mengaudit semua penggunaan anggaran yang bersumber dari keuangan negara.

"Dana partai sebesar Rp1 triliun itu jika keluar dari APBN, berarti kita periksa," tegas Harry di Gedung BPK Jakarta, kemarin.

Ia menjelaskan, BPK akan mengaudit keseluruhan penggunaan dana tersebut.

"Gambaran umumnya BPK akan berpatokan pada pagu anggarannya," pungkasnya.