Bukan cuma Murah Meriah

Penulis: Administrator Pada: Minggu, 15 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Bukan cuma Murah Meriah

MI/IMMANUEL ANTONIUS

Murah dan dekat kini jadi motivasi mereka ke Batam. Namun, nanti mestinya alasan itu kian banyak.

Johan, 46, dan istrinya, Grace, 42, memborong sabun, sampo, pasta gigi, dan sikat gigi. Aneka peralatan mandi itu menjadi buah tangannya dari Indonesia. Bermerek global walaupun kemasannya tak sama persis dan harganya terpaut lumayan. Itu yang membuat pasangan asal Singapura ini selalu mengagendakan wisata belanja dalam liburannya di Batam.

"Di sini segalanya lebih santai. Jadi, kami ke sini untuk istirahat," jelas Johan yang dijumpai di Hymermart, Nagoya Hill, Kota Batam, Kepulauan Riau.

Kendati terpikat harga murah, Grace tetap berhati-hati. Pilihannya tetap pada merek yang juga biasa ia temui di Singapura.

"Di Batam memang lebih murah, jadi sekalian beli, tapi bukan sengaja datang untuk belanja. Kalau menghitung ongkos feri dan hotel untuk menginap, dan lainnya selama di Batam, tidak sebanding dengan keuntungan barang belanjaan yang lebih murah," simpul Grace.

Pacu omzet

Setiap bulan total penjualan di toko itu, menurut Store Manager Hypermart Nagoya Hill, Slamet Riyanto, mencapai Rp16 miliar-Rp18 miliar, dari 108 toko Hypermart yang ada di seluruh Indonesia, berada di urutan ke sepuluh untuk tingkat penjualan.

"Ini karena kedatangan pembeli dari domestik dan tentunya dari Singapura," kata Slamet.

Kesibukan belanja warga Singapura, yang menurut Slamet ditandai dalam gaya berpakaian lebih trendi dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan petugas, bukan cuma ditemui di jajaran rak keperluan mandi, tetapi juga mi instan bahkan pembalut perempuan.

Seorang perempuan warga Singapura bahkan mengaku membeli untuk keperluan tiga bulan. Satu bungkus pembalut dengan merek dan isi yang sama dihargai Rp18 ribu di Indonesia. Di Singapura, itu bisa mencapai S$9,95 atau setara Rp94.925.

Begitu pula mi instan yang harga satuannya Rp2.500 di Batam, di Singapura dijual Rp4 ribu. Sikat gigi, di negeri jiran Rp37.525. Padahal, merek yang sama di Indonesia hanya Rp17 ribu.

Selain Nagoya Hill, Mega Mall, Kepri Mall, Harbour Bay Mall, serta aneka mal lain menjadi wilayah jelajah para pelancong melalui GPS di telepon selulernya.

Maka, di Harbour Bay, Batam, yang menghubungkan dengan Harbour Front, Singapura, Minggu (1/3) lalu, di atas koper yang diseret, sebagian menempatkan sekardus mi instan di atasnya.

Kebiasaan baik

Batam boleh saja memikat karena ongkos hidup yang berselisih tajam, ritme kehidupan yang lebih santai dibanding Singapura lengkap dengan spot buat melancong sehingga memikat warga negeri itu melancong. Namun, Singapura dan Batam jelas punya wajah berbeda. Terpaut hanya satu jam penyeberangan, gaya hidup berjalan kaki, seperti yang biasa dilakukan Rasyid, warga Singapura saat di Batam, sungguh tak biasa.

Rasyid mengajari kami kebiasaannya berjalan dari Nagoya ke Harbour Bay. Ketika kiat itu dikonfirmasi ke pengemudi taksi, mereka menganggapnya rute yang memang terbilang dekat itu sungguh tak layak ditempuh berjalan kaki.

"Ada beberapa pelabuhan lain yang bisa menjadi pilihan penyeberangan bolak-balik Singapura dan Batam, tapi saya rekomendasikan Harbour Bay karena paling dekat dengan Nagoya Hill dan di kawasan sini lumayan lengkap pusat perbelanjaannya. Sambil jalan kaki dari pelabuhan, ada banyak hotel, serbaada dan mudah dijangkau, dekat dengan jalan kaki," cetus Rasyid.

Nyatanya, di rute jalan kaki yang pendek, tetapi terik itu memang hanya ditempuh warga asing. Mereka setia dengan kebiasaan jalan kaki kendati harus berjibaku dengan fasilitas trotoar yang tak terlampau baik.

"Kami terbiasa berjalan kaki dan menaiki moda transportasi massal semisal MRT atau bus karena biaya kendaraan pribadi itu mahal," kata Rasyid.

Benar saja, saat menginjakkan kaki di Harbour Front, pelabuhan Singapura itu sudah terintegrasi dengan pusat perbelanjaan dan stasiun MRT. Pembayaran MRT dilakukan dengan kartu elektronik, dengan tarif mulai S$D0,77-S$2,50 tergantung jarak. Dengan kurs rupiah Rp9.400, itu artinya rute terjauh di Singapura bisa ditempuh hanya dengan merogoh kocek Rp23.500.

Hanya dibutuhkan waktu 2 menit berselang untuk kereta berikutnya tiba. Ini sejalan dengan napas Singapura yang serbacepat. Namun, bila ingin menaiki taksi atau bus pun mudah saja dari pelabuhan. Tarif bus berkisar S$0,73-S$4,20 saja.

Sejam terpaut jauh

Terpaut lautan yang bisa ditempuh selama sejam, di Harbour Bay, akan ada banyak sopir taksi menghampiri. Hampir tidak ada sopir taksi yang mau menggunakan argo saat mengantar penumpang. Taksi bandara menjadi pengecualian.

Nyaris semua taksi menetapkan tarif tembak, sering kali harus melibatkan tawar-menawar. Untuk jarak dekat yang selayaknya hanya Rp30 ribu dengan argo, mereka biasa menembak tarif menjadi Rp50 ribu.

Serman asal Padang sudah sejak 1987 menjadi sopir taksi di Batam. Dia sering mendapat penumpang Singapura, jadi kadang dia mendapat bayaran dalam uang dolar Singapura juga.

"Kemarin saya antarpenumpang dari pelabuhan di Batam Center, menuju Nagoya, menunggu sebentar lalu kembali ke pelabuhan. Saya dibayar S$50 atau setara Rp470 ribu," kata Serman.

Nilai yang diperoleh Serman itu bahkan melampaui biaya sewa mobil per hari di Batam yang tarifnya berkisar Rp400 ribu.

Integrasi terminal dan pusat belanja

Riuhnya Batam oleh kedatangan warga asing diantisipasi pemerintah Kota Batam. Pusat perbelanjaan dan terminal feri yang terintegrasi di Harbour Bay akan dirampungkan 2015. Itu akan jadi terminal terintegrasi pertama di Batam.

"Dari 3 juta turis yang datang ke Batam per tahunnya, sebagian besar datang berbelanja. Jumlahnya pemasukan terhadap PAD mencapai Rp100 miliar lebih dari aktivitas belanja mereka. Ini yang akan kami garap. Nantinya UKM juga akan dilibatkan. Kami akan segera mengembangkan pasar rakyat di sejumlah titik-titik yang berdekatan dengan pelabuhan internasional di Batam," kata Wali Kota Batam Ahmad Dahlan.

Hal senada juga dikatakan Humas Pemkot Batam Ardiwinata. Rencana pengembangan itu tinggal menunggu investor untuk memperlebar ceruk potensi perolehan uang dari para pelancong.

"Keberadaan warga Singapura dan Malaysia setiap akhir pekan di sejumlah mal di Batam jumlahnya ribuan. Apalagi jika awal-awal bulan, jumlahnya bisa dua kali lipat. Yang datang setiap akhir pekan saja mencapai 5.000 orang. Bahkan, jika awal bulan jumlahnya bisa dua kali lipat," kata Kepala Dinas Pariwisata Kota Batam Yusfa Hendri.

Selisih nilai tukar mata uang dolar Singapura dibandingkan rupiah, yaitu S$1 sama dengan Rp9.500, dan 1 ringgit Malaysia Rp3.500, plus posisi wilayah senantiasa menjadi berkah buat Batam yang menanti keseriusan penataan.

Ina Primiana, ekonom dari Universitas Padjadjaran, menilai kunci sukses Batam ialah membuat pelancong mancanegara betah berlama-lama sehingga makin banyak uang yang keluar dari kantung mereka. "Buat Menginap lebih lama di hotel, makan di restoran, mengunjungi tempat wisata, membeli produk di sentra kerajinan lokal. Ini juga terkait dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), menciptakan pasar yang kian besar di negara sendiri untuk pasar dalam dan luar negeri," kata Ina.

Jadi, jika Johan dan Grace mengaku menikmati makanan enak dan keramahan warga Batam, harapan keduanya agar infrastruktur dibenahi, pun informasi tentang kota ini lebih mudah dan lengkap diakses, mestinya akan membuat mereka berbahagia dan kocek mereka lebih sering dirogoh.