Benahi Penyidikan dan Peradilan

Penulis: Erandhi Hutomo Saputra Pada: Kamis, 19 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Benahi Penyidikan dan Peradilan

MI/Tiyok

Terungkapnya kasus Nenek Asyani di Situbondo yang dituduh mencuri kayu dan sempat ditahan 3 bulan, tetapi akhirnya dibebaskan, juga vonis mati terhadap Yusman Telaumbanua di Nias dengan tuduhan pembunuhan pada 2012, sedangkan usianya ketika itu baru 16 tahun, ibarat puncak gunung es dari sekian kasus yang bisa saja sarat kekeliruan atau rekayasa sejak proses penyelidikan dan penyidikan.

Karena itu, menurut sejumlah pihak kepada Media Indonesia kemarin, pemerintah harus proaktif segera membukakan pintu upaya hukum selanjutnya kepada terdakwa untuk mendapatkan keadilan.

Dalam penilaian pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Mudzakkir, upaya hukum selanjutnya menjadi koreksi bagi aparat di lapangan agar berhati-hati ketika menjalankan tugas.

"Selain itu, kepolisian dan Mahkamah Agung mesti membenahi kembali sistem penegakan hukum di institusi masing-masing. Dengan banyaknya putusan pengadilan yang tidak sesuai hati nurani tersebut, proses penyidikan dan peradilan di Indonesia (berjalan) dalam kondisi buruk," kata Mudzakkir.

Nenek Asyani, 63, warga Desa Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, oleh jaksa didakwa mencuri 38 papan kayu jati dari hutan produksi pada 7 Juli 2014.

Padahal, kata si nenek, kayu itu didapat dari lahannya sendiri.

Nenek Asyani sempat ditahan sejak 15 Desember 2014 di LP Situbondo sebelum menghirup udara bebas, Selasa (17/3).

Sementara itu, Yusman Telaumbanua oleh hakim PN Gunungsitoli divonis mati karena dituduh membunuh majikannya pada 24 April 2012.

Namun, menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut Herdensi Adnin, selama proses penyidikan ada beberapa rekayasa terhadap Yusman, yakni usianya dikatrol dari 16 tahun menjadi 21 tahun dan selama penyidikan tidak didampingi kuasa hukum.

Kini Yusman mendekam di LP Batu, Nusakambangan.

"Kami akan melihat perkara ini secara detail bersama Polda Sumut, pengadilan, kejaksaan, dan Komisi Yudisial (KY)," ujar Herdensi.

Mudzakkir menambahkan hakim telah salah menjatuhkan putusan karena anak berusia 16 tahun tidak bisa dijatuhi vonis mati.

"Jaksa juga salah menuntut sehingga hakim salah memutuskan."

Periksa hakim
Senada dengan Mudzakkir, Komisioner KPAI Erlinda Iswanto mengatakan, jika anak di bawah umur terbukti bersalah, seharusnya menjalani rehabilitasi, bukan dijatuhi hukuman mati.

"Ada salah satu hak anak, yaitu hak untuk hidup. Ini pelanggaran!"

Koordinator Konstras Hariz Azhar mendesak Kapolri menindak tegas penyidik Polres Nias yang diduga melakukan penyiksaan dan pemalsuan identitas Yusman tersebut.

"Ombudsman harus melakukan investigasi terkait dugaan pemalsuan usia Yusman yang diduga dilakukan oleh penyidik. KY pun harus memeriksa majelis hakim PN Gunungsitoli yang menyidangkan dan menjatuhkan vonis hukuman mati. Padahal, Yusman masih di bawah umur," ungkap Haris.

Saat menanggapi tudingan Kontras tersebut, Kasie Penkum Kejati Sumut Chandra Purnama mengakui pihaknya sudah menjalankan tugas sesuai prosedur hukum.

"Kami membuktikan fakta dan hasil pertimbangan itu dikeluarkan dari persidangan (hakim)."

Hanya saja, Chandra sependapat Yusman patut mendapat kesempatan menempuh upaya hukum selanjutnya.

"Apa itu banding, kasasi, atau PK (peninjauan kembali). Apa pun hasilnya, kami akan merujuk itu untuk tindak lanjut hukumnya." (Ric/PS/LD/X-4)