Koruptor Dihukum Berat

Penulis: Anshar Dwi Wibowo Pada: Kamis, 19 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Koruptor Dihukum Berat

MI/Tiyok

WACANA pemberian remisi bagi para koruptor yang dilontarkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly terus bergulir.

Muncul anggapan wacana tersebut merupakan langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi.

Berkenaan dengan hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan jika tindakan korupsi masuk kategori kriminal berat, pelakunya harus dihukum seberat mungkin.

"Kalau memang korupsi itu kriminal berat, tentu hukumannya juga berat. Tidak bisa kriminal berat dihukum ringan," ujar JK di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, kemarin.

Meski begitu, JK mengatakan jika seseorang sudah menjalani vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang bersangkutan mempunyai hak yang sama dengan narapidana lainnya.

"Menjadi sama dengan yang lain, baru diberikan remisi tentu, tapi remisi bagian dari hukum itu sendiri," tegasnya.

Lebih lanjut, JK mengaku pembicaraan terkait dengan remisi koruptor belum dibahas bersama Presiden Joko Widodo maupun dirinya. "Belum, belum," katanya.

Aspek moral
Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad menyatakan kejahatan korupsi telah memberi penderitaan yang serius bagi kehidupan rakyat.

"Kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang tidak bisa diberi remisi," tandasnya dalam dialog bertema Remisi buat terpidana korupsi, apa alasannya?, di kompleks parlemen, Jakarta, kemarin.

Meskipun remisi dapat diberikan ke seluruh terpidana, kata dia, perlu ada perbedaan bagi pelaku kejahatan extraordinary crime.

Penghukuman terhadap terpidana yang tersangkut kejahatan tingkat tinggi harus memperhatikan aspek moral dari kejahatan yang dilakukan pelaku.

"Perlu ada pemikiran untuk membedakan bagaimana berikan remisi, dari prosedur sampai besarnya remisi dengan kejahatan yang dilakukan," papar Farouk.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan, sesungguhnya tiap narapidana bisa memperoleh remisi tanpa pengecualian.

Meski demikian, ia mengungkapkan pemerintah bisa saja melakukan diskriminasi pada pelaku selama memenuhi konsensus nasional.

Dilanjutkannya, perlakuan berbeda itu hanya bisa dilakukan jika menjadi bagian dari konsensus nasional dalam bentuk UU, bukan PP.

Menurutnya, saat perlakuan berbeda hanya diatur dalam PP, hal itu dikhawatirkan mudah untuk disalahgunakan.

"Ini sangat sensitif. Remisi juga hak narapidana maka harus ada konsensus nasional berupa UU. Tidak cukup diatur dengan PP karena berpotensi disalahgunakan."

Komnas HAM, imbuhnya, ingin agar pemerintah dan penegak hukum menggunakan konvensi antikorupsi yang sudah diratifikasi menjadi undang-undang sebagai pijakan dalam bertindak dan bersikap.

"Ini harus jadi pertimbangan majelis hakim karena dalam konvensi tersebut koruptor harus dimiskinkan," jelasnya.

Selanjutnya, ia juga mendorong pemerintah untuk menjalankan konvensi internasional antikorupsi yang sudah diratifikasi menjadi UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Antikorupsi 2003.

"UU itu seharusnya dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memutus kasus korupsi sehingga vonis yang dikeluarkan majelis hakim mencerminkan rasa keadilan masyarakat," ucap Siti.

Sebelumnya, wacana remisi yang dilontarkan Yasonna Laoly pun mendapat tanggapan dari Plt Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi.

Ia menilai pemberian remisi kepada koruptor sebagai langkah mundur dalam pemberantasan korupsi.

Pasalnya, kejahatan korupsi termasuk tindak pidana berat dan pengetatan remisi sudah dikuatkan dengan payung hukum.

(Nov/P-3)