Ingin Meluruskan yang Selama ini Bengkok

Penulis: Cahya Mulyana Pada: Kamis, 19 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Ingin Meluruskan yang Selama ini Bengkok

MI/Ramdani
Menkumham Yasonna Laoly

MENTERI Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Yasonna H Laoly melontarkan wacana mengenai pembenahan syarat pemberian remisi kepada narapidana yang terlibat kasus luar biasa (extraordinary crime) seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.

Ketentuan tentang itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP/narapidana).

Wacana tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat. Untuk mengetahui lebih jauh latar belakang dan tujuan rencana perubahan tersebut, wartawan Media Indonesia Cahya Mulyana mewawancarai Yasonna Laoly di Jakarta, Selasa (17/3).

Berikut petikannya.

Apakah benar Anda mewacanakan penghapusan syarat justice collabolator (JC) atau whistleblower bagi narapidana korupsi terkait dengan pemberian remisi?

Jadi, begini, itu benar telah diwacanakan dalam sebuah seminar di Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Hadir sebagai pembicara dalam kesempatan itu, antara lain Prof Gayus Lumbuun, saya sebagai keynote speaker, Dr Maruarar Siahaan, serta perwakilan dari Komnas HAM dan KPK.

Selain itu, beberapa LSM seperti dari ICW juga kami undang, tetapi tidak hadir dengan alasan acara itu dianggap sebagai sosialisasi.

Padahal, acara itu merupakan pembahasan wacana tersebut.

Jadi, ini sebenarnya masih wacana dan masih dalam pengkajian seluruh pihak terkait.

Makanya, jangan berburuk sangka dulu sebelum mengetahui seperti apa duduk masalahnya dan apa yang harus dibenahi.

Banyak yang belum tahu pikiran saya, tapi sudah komentar macam-macam.

Padahal, tidak ada obral remisi, nanti saya buktikan.

Apakah wacana tersebut sudah dalam bentuk draf?

Belum, kan ini masih wacana.

Makanya saya sudah merencanakan bentuk tim dan undang pakar, juga KPK akan diundang.

Nanti kalau sudah dalam bentuk draf akan dimasukkan ide soal pembebasan bersyarat daring dan remisi daring.

Nanti bisa terlihat apa saja syarat yang sudah dilampirkan dan apa keputusan serta berapa jumlah remisi yang diterima.

Ini untuk meningkatkan transparansi di bidang peradilan dan meluruskan yang belum lurus selama ini.

Jadi, jangan suuzan dulu.

Tapi kenapa gagasan yang bagus itu ditafsirkan publik bahwa Menkum dan HAM akan mengobral remisi kepada koruptor?

Itulah yang saya tidak mengerti. Yang dikritik orang itu seolah saya mencabut kewenangan KPK.

Kalau mau memperberat hukuman terhadap koruptor, tuntut dan vonis dengan hukuman yang berat saat orang itu diadili di pengadilan.

Itu langkah tepat untuk memberikan pemberatan hukuman.

Sesudah selesai putusan di pengadilan, masuk ranah penahanan dan itu urusan kami.

Berarti banyak orang yang salah menilai niat baik Anda?

Yah, memang yang di luar sana bilang Laoly akan mengumbar remisi.

Itu yang salah.

Yang saya mau bilang bahwa PP 99/2012 pada poin yang mengatur syarat dan ketentuan pemberian remisi tidak sesuai dengan sistem pengadilan kita, dan sistem remisi itu ada kamar-kamarnya.

Coba mari kita lihat tugas tiap lembaga dalam sistem peradilan kita.

Polisi tugasnya menyidik, kejaksaan menuntut, dan KPK menyidik dan menuntut.

Sesudah itu, baru hakim yang memutuskam setelah mendengar keringanan atau pemberatan dalam persidangan dari jaksa penuntut umum dan pengacara terdakwa.

Apakah Anda merasa lembaga lain mengintervensi kewenangan Kemenkum dan HAM?

Saya cuma mau katakan kalau KPK merasa harus ada pemberatan hukuman terhadap koruptor, ya tempatnya di pengadilan.

Jangan urus narapidana yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab kami. (P-3)