Hutan Adalah Halom bagi Kami

Penulis: MI Pada: Rabu, 25 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Hutan Adalah Halom bagi Kami

ANTARA/FANNY OCTAVIANUS

ORANG rimba atau dulunya dikenal sebagai suku Anak Dalam atau suku Kubu sejak dahulu hingga kini menggantungkan hidup dari sumber daya alam berupa rimba belantara.

Sampai saat ini orang rimba masih mengedepankan pola hidup seminomadik, dan mempertahankan hidup dari hasil aktivitas berburu, meramu hasil hutan dan berladang. Semua aspek hidup mereka terintegrasi di dalam hutan, mulai aspek religi, ekonomi, maupun sosial budaya.

Seperti disampaikan Ketua Dewan Orang Rimba Tumenggung Tarib kepada Media Indonesia, Minggu (15/3), bagi orang rimba, hutan ialah segala-galanya. Hutan merupakan halom (dunia) mereka. Tarib menyatakan hutan sebagai rumah megah yang nyaman, dan menyimpan semua kebutuhan hidup bagi anak-cucu mereka.

Namun, itu tempo dulu. Faktanya kini kenyamanan dan ketergantungan mereka dengan hutan semenjak dekade 1980-an kian terancam. Terjadi kerusakan hutan yang mengenaskan akibat terjadinya pengalihfungsian hutan besar-besaran untuk kemakmuran negara dan kelompok masyarakat tertentu di luar rimba.

Menurut catatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang semenjak 1998 silam intens melakukan pendampingan kehidupan orang rimba, pembukaan kawasan hutan buat kegiatan perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, pertambangan batubara, milik konglomerat nasional, dan kebun-kebun masyarakat sampai kini terus terjadi. Tidak ada satu pun orang yang mampu menghentikan.

"Lantaran kalah segala-galanya, upaya mempertahankan atau merebut hutan ulayat mereka yang dicaplok atau tercaplok oleh pengusaha berduit, posisi sekitar 3.900 jiwa orang rimba yang tersebar di lima kabupaten di Jambi, lebih separuh terkonsentrasi di sekeliling Taman Nasional Bukit Duabelas kian tersudut," kata Manajer Komunkasi KKI Warsi, Rudi Syaf.

Menurutnya, hampir seluruh ruang jelajah orang rimba sudah beralih fungsi dan miskin sumber makanan.

Puncaknya terjadi awal 2015. KKI Warsi mendapat laporan sebanyak 11 orang rimba dari tiga ketemenggungan yang bertahan di belahan timur TNBD mengalami kematian beruntun dalam kurun Januari-Februari 2015.

Salah satu penyebabnya ialah akibat krisis makanan dan sumber air bersih selama perjalanan berantai ke tujuh lokasi melangun.

Kasubdit Kerja Sama Kelembagaan Evaluasi dan Pelaporan Kementerian Sosial Laode Taufik Nuryadin pun langsung meninjau ke lapangan. Dari peninjauan bersama sejumlah pejabat di jajaran Pemprov Jambi menemukan fakta kematian beruntun orang rimba disebabkan kesulitan bahan makanan dan keletihan saat melangun. "Ini fenomena yang menantang kita untuk mencarikan jalan keluar. Perlu ada penanganan, pemberdayaan orang rimba yang pas dan tepat secara bottom up," kata Laode.

Kabid Pemberdayaan Sosial Disnakertrans Jambi Syarifuddin menambahkan, selama ini orang rimba belum tersentuh oleh program pemberdayaan. Alasannya kebiasaan melangun menyebabkan pihaknya kesulitan berkomunikasi, apalagi mendata warganya.

Karena kian tersudutnya orang rimba, akhirnya Pemprov Jambi melalui Kantor Bappeda Provinsi Jambi akan mendorong program pembangunan dan perlindungan komunitas adat terpencil yang lebih komprehensif dan terukur.

"Perlu dukungan bersama. Yang dibutuhkan saat ini ialah data valid populasi dan kondisi orang rimba. Di masa mendatang perlu desain besar jangka panjang secara bertahap untuk memperbaiki kehidupan orang rimba," kata Hambali dari bidang perencanaan Kantor Bappeda Provinsi Jambi. (SL/N-4)