Mulai Datang Tawaran Jadi Polisi atau Tentara

Penulis: MI/SOLMI Pada: Rabu, 25 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Mulai Datang Tawaran Jadi Polisi atau Tentara

ANTARA/FANNY OCTAVIANUS

MENGGERAKKAN anak-anak orang rimba bersekolah perlu pendekatan khusus. Selain sudah ada sokola rimba yang dirintis Butet Manurung, polisi dan TNI Angkatan Darat pun tergerak untuk mengajak anak-anak rimba mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA.

Nantinya setelah lulus SMA, anak-anak rimba bisa melanjutkan karier sebagai tentara atau polisi. "Bapak-bapak ada enggak anak kita tamatan SMA yang masuk polisi? Bisa juga masuk tentara. Kalau ada tolong daftarkan, kita membutuhkan dan akan dibantu," ujar Kapolda Jambi Brigjen Bambang Sudarisman saat berdialog dengan puluhan keluarga orang rimba yang tengah melangun di hutan karet tua pinggiran Desa Olak Besar, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari, Kamis (12/3).

Namun, tawaran yang tulus dan serius tersebut tidak mendapat jawaban dari orang rimba. Tumenggung Nyenong, Tumenggung Maritua, Tumenggung Ngamal, dan puluhan anggota yang duduk berhadapan dengan Bambang Sudarisman, Danrem 042 Garuda Putih Kolonel Infanteri Harianto, dan Bupati Batanghari Sinwan hanya melongo dan celingukan melihat kelompoknya.

Begitu pula setelah informasi serupa disampaikan ulang dalam bahasa orang rimba oleh Manajer Pemberdayaan Sosial Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi Robert Aritonang.

Lembaga itu sudah lama bergaul dengan orang rimba di Provinsi Jambi yang jumlahnya sekitar 3.900 jiwa.

"Kalau dari kelompok ini belum ada, Pak Kapolda. Dari kelompok lain di Sarolangun ada tiga orang yang sudah tamat sekolah umum setingkat SMA. Nanti akan coba kita tawarkan," ujar Robert.

Bambang Sudarisman, kepada Media Indonesia, mengungkapkan tawaran itu serius. "Kita serius dan akan kita bantu. Namun, tentunya harus memenuhi kriteria dan persyaratan antara lain taman SMA, sehat rohani dan fisik.

Jika ada anak rimba yang menjadi polisi, bisa menyemangati orang rimba untuk menyekolahkan anak dan cucu mereka. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia selain papan dan pangan. Sebagai bagian dari kerabat kita, orang rimba di masa depan harus gencar diberi pemahaman untuk hidup layak," ujar Bambang.

Hal serupa juga dikemukakan Danrem 042 Garuda Putih Kolonel Infanteri Harianto di depan sekelompok anak-anak muda orang rimba di lokasi.

Bahkan, Harianto menyatakan siap mengerahkan prajuritnya terutama personel TNI yang bertugas sebagai bintara pembina desa (babinsa) yang mengabdi dekat permukiman orang rimba untuk membantu mengajar.

"Untuk efektifnya, kita mengharapkan teman-teman KKI Warsi terus berkomunikasi dengan kita. Jangan sampai terputus sehingga kehadiran negara buat memberikan pendidikan sebagai hak dan kebutuhan mendasar cepat terealisasi pada komunitas orang rimba, terutama untuk anak dan cucu mereka," kata Harianto.

Sekolah

Pada kesempatan itu, fasilitator pendidikan KKI Warsi Theo Eldhora Fernando Lubis, yang semenjak 2013 mengajar baca tulis dan hitung untuk orang rimba, mengakui pendidikan sangat dibutuhkan suku tersebut terutama berguna buat benteng perlawanan aksi pembodohan dari oknum masyarakat di luaran rimba.

Theo mengakui persoalan yang dihadapi orang rimba ialah mereka tidak mau tinggal di tempat lain kecuali di hutan. Seperti yang sudah diungkapkan Temenggung Nyenong, Menti Ngelembo, saat bertemu kapolda dan danrem termasuk saat Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengunjungi mereka pekan lalu.

Temenggung Nyenong tetap berkeras menolak anak cucu mereka bersekolah di luar rimba. "Sekilahnya di dalam rimbo be. Tapi kalu ado uamh keras bersekola di luar, kami jugo hopi bisa melarang," kata Nyenong.

Dengan kata lain, pihaknya tidak akan melarang anak-anak harus sekolah di luar rimba, sesuai dengan keinginan orangtuanya. Namun, alangkah baiknya anak-anak orang rimba bersekolah di dalam rimba.

Mengajari anak-anak rimba belajar membaca tulis dan hitung tidaklah mudah. Theo pun berbagi pengalaman bahwa mengajar anak-anak rimba tidak sama dengan mengajar anak-anak lainnya. Namun, enaknya, lanjut Theo, anak-anak rimba bisa belajar di mana saja.

"Di pondok, sungai, di bawah pohon ataupun di jalan bisa. Waktunya juga tidak terikat," kata Theo.

Konsep belajar mengajar yang dilakukan tetap berbasis pada kondisi ekologis orang rimba. Proses belajar dilakukan dengan keadaan nyata dan kondisi sehari-hari orang rimba. Misalnya pada pagi hari mereka biasanya pergi memeci (menembak burung dengan katapel) di hutan. Sambil memeci, guru akan memasukkan beberapa materi pelajaran misalnya berhitung. "Misalnya menghitung jumlah pohon tertentu di sepanjang jalan, menjumlahkan atau mengurangi hasil tangkapan burung yang diperoleh pada hari itu," papar Theo.

Melalui pendidikan yang berbasis pada realitas ekologis itu diharapkan, anak-anak rimba dapat menarik hubungan antara perubahan sosial dan ancaman masa depan hutan yang merupakan ruang hidup mereka.

Theo juga berharap kelak jika sudah menjadi warga terdidik, orang rimba akan lebih bisa menerima kehadirannya di republik ini.

"Orang Rimba tidaklah bodoh atau menjijikkan. Mereka sama dengan kita, warga negara Indonesia, meskipun kebanyakan belum ber-KTP. Keunikan mereka yang ketat menjaga adat istiadat terutama terkait dengan pentingnya kelestarian hutan hendaknya bisa dihormati dan diapresiasi secara baik oleh siapa pun," tegas Theo. (N-4)