Tidak Berdaya Hadapi Pungutan Liar

Penulis: MI/GANA BUANA Pada: Rabu, 25 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Tidak Berdaya Hadapi Pungutan Liar

MI/PANCA SYURKANI

TELINGA Sapron, 32, bukannya tuli. Ia bisa mendengar jerit klakson kendaraan yang mengantre di belakang angkot yang ia kemudikan. Namun, ia tetap enggan melajukan kemudi. Para penumpang di dalam angkot yang mengomel juga tak ia pedulikan. Matanya menyisir para pejalan kaki di sekitar pintu keluar tol Bekasi Timur di Jalan Joyo Martono, berharap salah satu dari pejalan kaki itu menjadi penumpangnya.

Sapron terus memainkan kendali gas mobilnya, agar calon penumpang mengira angkotnya segera berangkat. Padahal, ia tidak akan beranjak sebelum angkotnya penuh. Jangankan pekik klakson yang susul-menyusul mengusirnya, perintah polisi lalu lintas pun kadang tak ia hiraukan. Sapron hanya peduli pada pemasukannya hari itu. "Saya kejar setoran," kata Sapron tegas, kemarin.

Tidak hanya Sapron, perilaku yang sama juga dilakukan oleh sopir angkutan umum K 19 A jurusan Pondok Timur-Terminal Bekasi. Pria yang sudah 12 tahun berprofesi sebagai sopir angkutan umum di Bekasi itu mengaku terpaksa nekat mengetem di sembarang tempat dan mengail penumpang di sana-sini agar punya penghasilan cukup bisa dibawa pulang.

Setiap hari, Sapron wajib menyetor Rp150 ribu kepada pengusaha angkot yang menjadi bosnya. Ditambah lagi, ia mesti menyisihkan Rp100 ribu-Rp150 ribu untuk operasional dan bensin. Seharusnya, pendapatan selebihnya bisa dibawa pulang seluruhnya. Namun, banyaknya pungutan liar yang dikutip di sepanjang rute yang ia lalui membuat penghasilannya berkurang.

Sapron merinci, di pagi hari, pada putaran pertama, ia harus membayar Rp12 ribu pada penjaga 'timer' jalur K19 A. Istilah penjaga timer, ialah sebutan untuk para pengatur waktu mengetem bagi sopir angkot. Setiap angkot yang memangkal di pangkalan resmi tidak bisa diam terlalu lama. Para timer dengan teliti menghitung waktu, menentukan berapa lama satu angkot dibolehkan mengetem agar tidak saling serobot. "Katanya itu untuk keamanan jalur," tuturnya.

Di ujung Jalan Raya Jatimulya, setiap sopir angkot K 19 A kembali diwajibkan membayar Rp2.000 untuk setiap putaran. Uang itu disebut biaya denda jalur. Tidak cukup sampai di situ, ia masih harus membayar Rp200 setiap masuk ke area terminal induk Kota Bekasi. Setiap hari, rata-rata ia harus masuk terminal sebanyak empat kali.

"Kalau ditotal, dalam sehari saya harus mengumpulkan uang sewa penumpang sebanyak Rp400 ribu, itu sudah minimal lo. Sisanya baru saya bawa pulang," tuturnya.

Hal senada dikeluhkan sopir angkot lainnya, Armen, 49. Ia kesal dengan banyaknya pungutan liar di sepanjang rute angkotnya. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena jika menolak membayar pungutan-pungutan itu, ia khawatir tidak dibolehkan beroperasi lagi di rute tersebut. Pungutan itu membuat penghasilannya berkurang.

"Sekarang penumpang sepi. Jadi kerja harus ekstra. Tapi uang yang didapat juga enggak banyak. Saya enggak bisa apa-apa," keluhnya.

Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Bekasi yang mewadahi angkutan umum di Kota Bekasi tidak pernah mewajibkan para sopir membayar pungutan di berbagai tempat. Ketua Organda Hotman Pane mengatakan jangankan berbagai pungutan, wacana Organda memungut Rp5.000 per hari kepada setiap angkot telah dibatalkan, karena para sopir angkot kompak mendemo Organda dan tidak mau membayar iuran tersebut. "Iuran yang untuk kemaslahatan saja dibatalkan, apalagi pungutan yang tidak jelas gitu. Tidak ada," tukasnya. (J-4)