Terbentur Dukungan Dana

Penulis: Dinny Mutiah Pada: Kamis, 26 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Terbentur Dukungan Dana

THINKSTOCK

KETAHANAN pangan tidak mungkin terwujud tanpa dukungan riset di bidang pangan.

Menurut ahli teknologi pangan dari Universitas Katolik Atmajaya FG Winarno, banyaknya masalah yang melingkupi ketahanan pangan idealnya mampu dijawab hasil riset yang mumpuni. Salah satunya persoalan distribusi pangan di Indonesia.

Banyaknya pulau di Indonesia tidak berbanding lurus dengan pemerataan produksi pangan. Masalah tersebut sebenarnya bisa diatasi jika dukungan transportasi memadai. Nyatanya, infrastruktur yang tersedia tidak memadai. Masalah semakin pelik kala pangan merupakan bahan yang mudah rusak. Untuk itu, teknologi pengawetan makanan diperlukan agar mampu memperpanjang usia.

Kajian di bidang pangan lainnya yang tidak kalah penting ialah aspek ekonomi. Memproduksi bahan pangan perlu perencanaan matang agar tidak merugi dan berkelanjutan. Belum lagi memperhatikan sistem logistik agar kebutuhan stok pangan bisa dihitung dengan tepat sesuai kebutuhan.

Saking luasnya aspek penelitian di bidang pangan, Winarno menyatakan bahwa riset di bidang itu dapat menghasilkan ratusan doktor untuk satu aspek saja. "Tiap-tiap poin kalau diriset itu masing-masing bisa menghasilkan 100 doktor," ujarnya kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.

Minim dukungan
Meski hasil riset sudah banyak dipublikasi, manfaat dari studi tersebut belum banyak dirasakan masyarakat. Itu terjadi karena kebanyakan hasil riset belum diimplementasikan kalangan industri. Lagi pula, mekanisme penelitian di Indonesia belum mengarah ke tahap industrialisasi.

Winarno menyebut situasi tersebut disebabkan minimnya alokasi dana untuk riset dari pemerintah. Besaran dana riset yang kurang dari 1% tidak cukup untuk menghasilkan solusi yang paripurna untuk masalah pangan di Indonesia.

"Di negara maju, harus ada kerja sama antara pemerintah, industri, dan akademisi. Kita sebut tripple helix. Kalau tiga pihak ini enggak bergabung, enggak bisa jalan. Di kita, setiap institusi baik pemerintah, industri dan akademisi masih jalan sendiri-sendiri," kritiknya.

Senada dengan Winarno, guru besar ilmu pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Slamet Budijanto menyatakan bahwa pemerintah berperan sentral untuk membuat hasil riset diadopsi masyarakat luas. Riset, kata dia, tidak bisa berhasil jika tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan pemerintah.

Bukti nyata ialah swasembada beras pada 1984 silam. Untuk itu, butuh waktu hingga 20 tahun agar proyek swasembada yang dimulai dari riset bisa tercapai. "Kalau ada riset yang bagus semestinya kan dilanjutkan ke tahap implementasi. Tapi, seringkali tidak ada jalannya karena tidak di-support dengan baik,"  cetusnya.

Kecilnya dana riset tersebut berpengaruh terhadap kecepatan penyelesaian riset yang dilakukan. Pasalnya, peralatan penelitian yang digunakan adalah model lama dan harga bahan kimia terhitung lebih mahal jika dibandingkan dengan negara tetangga. Sebagai pembanding, ia menyebutkan dana riset yang diperoleh sebuah universitas di Malaysia mencapai Rp1 triliun per tahun.

Nominal tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dana riset yang diterima IPB pada tahun ini yang hanya sebesar Rp40 miliar per tahun. "IPB itu termasuk kampus besar. Bagaimana dengan kampus-kampus kecil? Tentunya jumlahnya lebih sedikit," cetusnya.

Meski begitu, kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak kalah jika dibandingkan dengan  SDM negara-negara lain. Ini terbukti dengan banyaknya akademisi yang berhasil meraih gelar bergengsi dari sejumlah universitas ternama di dunia.

Belum lagi produktivitas riset yang cukup tinggi yang terlihat dari jumlah publikasi. Ia meyakini karier di bidang pangan ini akan lebih menjanjikan di masa depan jika pemerintah bersedia mengalokasikan dana riset yang cukup dan menegakkan sistem reward and punishment.

"Ke depan, tantangan riset di bidang pangan ini akan semakin berat dengan terbatasnya lahan pertanian sementara iklim juga berubah. Kita perlu teknologi untuk mengatasinya. Nah, kalau riset tidak dikencangkan, ngeri-ngeri sedap itu barang," tukasnya. (S-1)

[email protected]