Napas Panjang sang Penyair Rusli Marzuki Saria

Penulis: Yose Hendra Pada: Kamis, 26 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Napas Panjang sang Penyair Rusli Marzuki Saria

MI/Yose Hendra

Rusli, 79, sang penyair, berkarier selama tujuh kali periode presiden Indonesia. Nenekku Pergi Suluk menjadi sajak pertamanya yang ditulis pada 1955 dan dimuat di surat kabar Nyata. Setelah itu, ratusan sajak mengalir dari jiwa kreativitas dan menghiasi media-media lokal maupun nasional. Sesekali, pria yang betah bermukim di Padang, Sumatra Barat, itu juga membacakan puisi-puisinya di panggung sastra. Bahkan, pertengahan tahun lalu, di usia 78, Papa melepas Magnum Opus, antologi puisi dan esai dengan judul One by One, Line by Line. "Jejak sejarah yang dalam berliku," kata penyair Leon Agusta, tentang karya tersebut.

Jalan kaki
Bagaimana seorang yang sudah menginjak usia senja tetap aktif dan gesit bertamasya dalam arena sastra? Jumat di awal Februari lalu, Media Indonesia menyambangi rumah sang penyair.

Sore itu, Rusli bersantai di kamar yang dipenuhi ribuan buku yang berserakan, sebagian tertata apik. "Saya senang minum madu lebah, belajar dari Nabi Muhammad SWT. (Minum madu) adalah kunci selalu bugar dan produktif," katanya membuka pembicaraan.

Untuk menjaga kebugaran dan kesehatan, Papa juga mengaku menggerakkan raga dengan cara berjalan kaki selama 1 jam tiap hari dan banyak minum air putih.

Papa bisa dibilang seorang bernapas panjang menempuh perjalanan jauh kepenyairan. Ia telah memulai sejak enam dekade lalu. Kepenyairannya berjalan pada labirin sejarah Sumatra Barat yang berliku. Papa lahir di Nagari Kamang Mudik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, pada 26 Januari 1936. Ayahnya, Marzuki, kepala nagari yang juga punya usaha bendi. Ibunya bernama Sarianun.

Pada 1942 Papa memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki sekolah rakyat (volkschool). Empat tahun berikutnya, sang ibu meninggal. Ia dibawa ayahnya tinggal di Labuah Silang, Payakumbuh.

Di kota itu pula Papa meneruskan sekolahnya, yakni ke SD Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar, dia melanjutkan studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.

Pada 1953, sang ayah meninggal. Otomatis lokomotif ekonomi melemah. Alhasil, keinginan untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta kandas. Dengan berbekal ijazah SMP, Papa bekerja di kepolisian, yakni di Kantor Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Sorenya, dia bersekolah di SMA.

Minat Papa pada sastra sudah mulai terlihat sejak di sekolah rakyat. Sejak itu, ia sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Dari mulai cerita rakyat seperti Kepala Sitalang dan Laras Simawang hingga karya-karya sastra seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli dan Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisjahbana. Di SMA bacaannya semakin banyak. Dia mulai melahap karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore dan John Steinbeick.

Asupan gizi intelektual itu menjadi modal Papa melahirkan begitu banyak sajak dengan beragam isu. Hingga hari ini, dia mengaku masih menulis puisi, mulai lika-liku keseharian hingga masalah sosial. "Saya bikin sajak tentang persoalan tenda ceper di tepi laut Padang, masalah orang-orang kecil, dan sebagainya," cerita Papa.

Di Sumatra Barat, pria berkacamata itu ialah legenda di dunia sajak. Ia menjadi anutan bagi generasi penyair di bawahnya. Bahkan beberapa penyair, tumbuh-kembang bersama Papa, baik melalui diskusi maupun pembelajaran yang dia berikan.

Pertengahan tahun lalu, antologi puisi dwibahasa One by One, Line by Line dan Essays on Monolog in Contemplation diterbitkan penerbit Kabarita Padang.

Saat membaca kumpulan puisi dan esai Papa dari 1960 hingga 2010 itu, kita mendapati pengembaraan seorang penyair dengan rasa peradaban Minangkabau yang kuat; menyelami masa kecil dengan asupan dongeng, persentuhan dengan surau, lalu melintas bersama sejarah yang dinamis. Ia menjalin kata dari sebuah pengalaman masa kecil, yang dilantunkan ke lingkungan yang ia lihat. Di masa-masa itu, sisi religius Papa juga kentara.

Puisi, menurut Rusli, memang tidak mengubah kehidupan, tapi suatu saat orang membutuhkan puisi. Ya, persis seperti ucapan mantan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy. "Jika politik kotor, puisilah yang membersihkannya." (M-6)

[email protected]


Biodata
Nama: Rusli Marzuki Saria
Panggilan: Papa
Tempat, tanggal lahir: Kamang, Kabupaten Agam, 26 Februari 1937
Istri: Hanizar Musa
Anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas F Sejati, Satyagraha, dan Diogenes
Pendidikan: SMA tamat 1957 dan autodidak
Riwayat Pekerjaan
- Anggota DPRD Kota Madya Padang 1985-1991
- Penyair dan wartawan surat kabar Haluan 1969-1999
- Agen polisi kepala (Mobbrig) 
Prestasi
- Hadiah Sastra, Balai Bahasa Jakarta, 1995
- Menerbitkan kumpulan puisi Sembilu Darah
- Hadiah Sakato dari Gubernur Sumbar, 2008