Bebas Mati Listrik dengan Limbah Organik

Penulis: MI/SITI RETNO WULANDARI Pada: Minggu, 29 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Bebas Mati Listrik dengan Limbah Organik
PERBINCANGAN kami di kantor Kencana Online di Pamengpeuk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mendadak terhenti. Hujan deras yang sedari tadi turun akhirnya diiringi mati listrik.

Salah satu pegawai kantor pun segera beranjak. Bukan mencari lilin atau senter, ia menyalakan lampu neon.

"Itu (lampu) menggunakan biogas yang diubah menjadi listrik dengan bantuan genset dan aki untuk menyimpan energi," kata Sonson Garsoni, pemilik Kencana Online, Rabu (25/3).

Karena melihat keingintahuan kami, pria berkacamata itu menunjukkan kembali cara memutar keran di ruangan itu sehingga gas masuk ke instalasi listrik.

Dalam satu bulan, Sonson mengaku ada penghematan sekitar 10% dari penggunaan listrik PLN. Energi listrik dihasilkan dari pengolahan limbah organik.

Dari hasil biogas sejumlah 2 meter kubik, Sonson bisa mendapatkan 6 Kwh/hari. Lamanya energi tersebut bertahan tergantung dengan pemakaian.

"Kalau satu alat saja memiliki daya 600 watt, energi tersebut dapat digunakan selama 10 jam. Itu kalau energi listrik hanya disalurkan pada satu alat, tergantung pemakaian pada rumah tangga," imbuhnya.

Di halaman kantornya tersebut, Sonson menunjukkan bahwa penghematan energi fosil bisa dilakukan berkelanjutan. Di halaman itu ia menempatkan satu digester yang berkapasitas menghasilkan biogas sejumlah 3 meter kubik. Setiap hari, ia memasukan limbah organik yang dicampur air sejumlah 50-75 kg.

Tak jauh dari kolam digester, terdapat tempat mencuci piring yang bagian bawahnya dilengkapi dengan alat pencacah makanan dan terhubung dengan pipa yang langsung mengucur ke dalam kolam penampung limbah. Dibutuhkan waktu sekitar 30 hari untuk mengubah limbah menjadi biogas, tapi hal tersebut hanya berlaku saat pertama kali digester digunakan. Untuk selanjutnya, kita hanya perlu memasukan sampah setiap hari, maka biogas pun akan terus dihasilkan.

Sonson mengaku limbah rumah tangga saja tidak cukup, ia pun mengambil limbah pasar, dan eceng gondok yang berkerumun di sungai dekat kantornya.

"Hasilnya berupa cairan dan gas, cairan akan masuk ke dalam kolam probiotik yang berisi ikan lele. Nanti air berputar, karena setiap hari pasti ada yang dihasilkan. Melalui instalasi pipa dan selang, kami mengalirkan air dari kolam probiotik ke sawah portabel dan rak hidroponik, tidak ada sisa yang terbuang," tukasnya sembari mengajak kami berkeliling di bengkel teknologi yang memiliki digester lebih besar, menghasilkan biogas 15 meter kubik.

Sementara itu, hasil yang berupa biogas memiliki dua saluran keran, satu untuk dijadikan bahan bakar kompor, satu lagi untuk dialirkan ke generator yang akan mengubah menjadi energi listrik.

Jika dihitung secara ekonomis, Sonson lebih menyarankan pembuatan biogas digunakan untuk bahan bakar kompor, pengganti elpiji, karena setiap 1 meter kubik biogas setara dengan 0,46 kg elpiji. Jika bisa menghasilkan 3 meter kubik per hari, pasokan yang didapat setara 1,38 kg elpiji.

Kantong-kantong plastik besar berwarna putih yang diletakkan pada rak buatan itu menggembung, sebagian lainnya sudah mengempis tanda gas semakin menipis. Meskipun disimpan dalam kantong plastik, untuk tingkat keamanannya lebih baik ketimbang elpiji, karena, kata Sonson, 20% dari gas metana ialah udara.

Dengan begitu, jika terjadi kebocoran, tidak akan membuat ledakan, tapi memberi efek polusi. "Di bengkel, elpiji yang justru menjadi cadangan hahaha. Kami juga memiliki gas yang disimpan dalam tabung, tabungnya khusus beda dengan elpiji. Kami jual gas tersebut, untuk pertama kali pembelian ya harus membeli berikut tabung gasnya, tapi untuk isi ulang kami memberikan harga seribu per tabung dalam satu hari," ungkapnya menunjukkan tabung berwarna merah berkapasitas 20 liter.

Perangi pemanasan global

Energi alternatif untuk listrik yang dijalankan oleh Sonson itu juga menjadi cermin bagi aksi Earth Hour yang berlangsung, kemarin (28/3). Aksi global yang diinisiasi organisasi lingkungan WWF itu mengajak masyarakat untuk menahan laju pemanasan global dengan menghemat energi.

WWF Indonesia pun kembali memberikan kemudahan bagi masyarakat yang ingin berkontribusi menyelamatkan bumi. Tahun ini, dengan mengusung tema lokal Hijaukan hutan, birukan laut, WWF menyampaikan pesan melalui kegiatan konservasi lokal.

Selain itu, ada pula program #BeliYangBaik sebagai bagian dari gerakan perubahan gaya hidup, setiap orang diharapkan berpartisipasi membubuhkan tanda tangan di laman Change.org/Indonesia. Publik diajak agar sadar bahwa pola konsumsi mereka turut menentukan ketahanan dan kerentanan bumi terhadap dampak perubahan iklim.

"Kami ingin memberikan kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi dengan wadah yang berbeda, tapi tujuannya tetap sama #IniAksiku untuk menjaga kelestarian bumi dari ancaman perubahan iklim," ujar Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF-Indonesia, Nyoman Iswarayoga.

Ia juga mengatakan publik jangan hanya melihat berapa besaran listrik yang bisa dihemat, tetapi lebih dari itu, ada makna lain yang bisa menjadi acuan untuk terus melakukan gerakan ini. Mematikan lampu dan alat elektronik yang tidak terpakai merupakan salah satu langkah mudah untuk menyelamatkan bumi. (M-3)