Gawi, Tarian Kebersamaan

Penulis: MI/IWAN J KURNIAWAN Pada: Minggu, 29 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Gawi, Tarian Kebersamaan

ANTARA/NYOMAN BUDHIANA

MENARI menjadi bagian tak terpisahkan bagi masyarakat suku Lio di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Beragam tradisi telah membuat penduduk yang mendiami Pulau Flores itu bersatu dengan alam.

Kondisi demografi dan geografi di pedalaman Kabupaten Ende, cukup berbukit-bukit. Sebut saja, Wolojita, Wolowaru, Kelimutu, atau Detukeli. Kawasan tersebut masih menjadi destinasi wisata budaya.

Itu membuat sebaran orang Lio hampir bisa kita temukan di kabupaten seluas 2.046,6 kilometer persegi itu. Tentu saja, adat istiadat yang jauh dari daerah pesisiran membuat suku Lio masih menjaga tradisi leluhur.

Salah satu warisan seni budaya yang masih kuat, yaitu lewat Tari Gawi di Desa Lise Detu, Kecamatan Wolowaru. Tarian adat ini biasanya warga suguhkan di berbagai upacara. Baik yang bersifat komunal maupun individual. Warga kerap mementaskannya untuk menyambut tamu ataupun pejabat yang bertandang dari Jakarta atau Kupang, ibu kota Provinsi NTT.

Pada sebuah pementasan Tari Gawi di Ende, bulan lalu, tarian tersebut tampak begitu repetitif. Beberapa penari perempuan mengangkat kaki dan tangan secara bersamaan. Untuk formasi koreografi, misalnya, ada kekhasan dan keunikan.

Kaum perempuan selalu berada di posisi paling luar saat tarian dipentaskan. Mereka membentuk lingkaran. Inilah bentuk kepercayaan atas kehidupan yang selalu berputar. Putaran itu pun memiliki simbol lingkaran penuh sebagai matahari, sang penguasa siang.

Namun, terkadang pula para perempuan penari membentuk setengah lingkaran, sedangkan para penari laki-laki membuat satu lingkaran penuh. Setengah lingkaran ini sebagai simbol akan bulan, penguasa malam.

Pada setiap pementasan Tari Gawi, para penari selalu menggunakan pakaian adat tradisional. Corak ornamen dan motif selalu membuat ada nuansa eksotis. Penari laki-laki biasanya memakai baju kaus oblong berwarna putih polos. Namun, tak jarang yang bertelanjang dada. Tidak lupa, sarung (ragi) plus selempang.

Begitu pula bagi penari perempuan, baju khas Ende bercorak merah marun dan biru menjadi ciri khas. Pakaian perempuan ini melambangkan warna Danau Kelimutu yang telah mendunia. Tak lupa, pakaian bawahannya berupa sarung ikat (lawo).

Sebagai tarian tradisi, Tari Gawi memiliki ciri khas pada irama. Di zaman dahulu, seorang pelantun (ata sodha) biasanya menyanyikan lagu tanpa iringan musik. Ada tembang-tembang dalam bahasa daerah. Itu sekadar sebagai ungkapan rasa syukur atas kehidupan warga desa.

Tembang-tembang itu seperti macapat dalam kesenian yang berkembang di Pulau Jawa. Namun, kini ada kalanya ata sodha menyanyikan dengan iringan musik. Ini sebagai cara agar lebih meriah dan membuat penari lebih bersemangat pula dalam menari semalam suntuk.

"Tari Gawi memiliki hubungan dengan arwah leluhur. Di zaman dahulu, masyarakat Lio menyuguhkannya untuk arwah-arwah leluhur yang bersemayam di Gunung Kelimutu," ujar budayawan sekaligus pengajar di Universitas Widya Mandiri, Kupang, Blasius Radja, dalam sebuah pembicaraan.

Tak ayal, keberadaan mitos, terutama terkait kepercayaan akan roh para leluhur orang Lio di Kelimutu masih begitu kuat. Itu memberikan sebuah cara hidup kuno. Namun, masih bisa kita temukan.

Di masa silam, para penari menari dalam jumlah puluhan hingga ratusan. Namun, dalam catatan sejarah, para seniman dan pemangku adat di Ende telah sukses mementaskan Tari Gawi. Mereka melibatkan sedikitnya 3 ribu penari di Lapangan Perse (Lapangan Pancasila), Ende, 2 tahun silam.

Tentu saja, ini membuat sebuah tradisi baru. Tarian tersebut pun masih tetap mengundang cecak kagum meski ditarikan secara kolosal. Gerakan pun rancak dan bersahaja. Apalagi, lantunan seorang ata sodha yang cukup khas sebagai pemimpin pentas tari.

Rasa syukur
Di Ende, selain Tari Gawi, berkembang pula tarian tradisi lainnya. Semisal, Ule Lela Nggewa. Sebagai tarian etnik, para penari dalam tarian ini hanya terdiri dari 6-9 gadis dengan iringan gendang.

Pada zaman dahulu leluhur orang Lio menggunakan batu sebagai musik pengiringnya. Namun, karena perkembangan zaman, mulai dilakukan modifikasi bentuknya. Ada yang menggunakan gong dan sebagainya.

Ada juga tarian lainnya, terutama menggabungkan unsur kreasi. Hal itu melahirkan tarian Gawi Naro. Tarian ini juga berbentuk lingkaran. Para penari kerap berpegangan tangan dan menyentakkan kaki dalam bentuk dua macam ragam. Ada gerakan ngendo (mundur) dan rudhu (maju).

Lalu, ada tarian Tekke Se. Tarian ini bentuknya seperti Gawi Naro. Namun, hanya berupa gerakan kaki satu ragam dan gerakan putaran lebih cepat dari Gawi Naro. Keunikan Tekke Se terletak pada aksi para penari.

Pada bagian tengah lingkaran, para penari akan menyalakan api unggun. Tarian ini hampir punah, tetapi masih bertahan di wilayah Nangapanda dan sekitarnya. Orang Lio bermukim di pegunungan. Itu membuat tarian mereka sedikit berbeda dengan masyarakat di pesisir.

Salah satu tarian pesisir yang berkembang di pesisir Ende, yaitu Tari Joka Sapa. Ini merupakan tarian yang dipengaruhi budaya Makassar di Sulawesi Selatan. Tari Joka Sapa tergolong tarian nelayan. Kekhasan tarian ini bisa terlihat pada kelincahan. Unsur musiknya pun begitu lekat dengan lagu gambus.

Lewat kekhasan budaya di Ende, orang Lio, khususnya, masih menjaga Tari Gawi. Mereka menarikan tarian ini untuk mengungkapkan rasa syukur, terutama pada hajatan seperti pernikahan dalam tatanan adat orang Lio.

Ketua Seni Budaya Ende Lio Sare, Amatus Peta, mengaku pergelaran seni budaya menjadi bagian tak terpisahkan bagi masyarakat Ende sebagai kota pluralis. Apalagi, Ende juga pernah menjadi tempat pengasingan Soekarno sebelum kemerdekaan.

"Tarian-tarian masyarakat Lio memiliki kekhasan. Ada mitologi dan unsur sejarah sehingga tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat," paparnya.

Sudah saatnya, generasi muda di Kabupaten Ende menjaga tarian etnik. Jangan hanya sekadar mengikuti tarian modern ala Eropa akibat jajahan Portugis atau Belanda yang begitu lama di Pulau Flores hingga Pulau Timor.

Tari Gawi perlu mendapatkan tempat spesial di kancah nasional. Apalagi, ada estetika gerak dan semangat kebersamaan. Semuanya berpangkal pada kehidupan orang Lio yang jujur, setia, dan berani. (M-2)