Hikayat Negeri Reptil

Penulis: MI/IWAN J KURNIAWAN Pada: Minggu, 29 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Hikayat Negeri Reptil

MI/IMMANUEL ANTONIUS

LAMPU masih berpendar menampakkan langkah seorang lelaki berkacamata sedikit terburu-buru. Ia masuk untuk menemui seorang politikus. Lelaki berkacamata itu pun menyodorkan koper. Sejurus, ia pun menerima satu seloki minuman keras dari si bos.

Tidak berapa lama, dua amplop cokelat pun ia terima, sedikit tegang bercampur waswas. Mungkin saja sang lelaki berkacamata itu tak lain ialah oknum atau pembunuh bayaran. Semua kembali sepi tanpa suara apa pun.

Secuplik adegan awal itu merupakan suguhan Teater Kosong lewat lakon Homo Reptilicus di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini. Pada bagian itu, para aktor berlaga tanpa suara. Semua serupa sketsa yang dibalut dengan kerahasiaan.

Teater Kosong seakan ingin memberikan perspektif lain. Kondisi sikut-menyikut antarpolitikus memang sedang menggerogoti kondisi politik di Negeri Reptil. Ada intrik dan kepentingan individu. Itu membuat orang-orang yang berkepentingan menjadi buas laiknya reptil.

Sutradara Teater Kosong, Radhar Panca Dahana, menyuguhkan drama politik dengan gaya satire. Lakon Homo Reptilicus terbagi dalam tiga babak dramaturgi. Itu membuat penonton harus sedikit mengerutkan dahi untuk menangkap alur maju-mundur. Pertunjukan itu tidak kalah serunya dengan suguhan seperti Teater Koma, Teater Mandiri, ataupun Teater Garasi.

Homo Reptilicus, sebuah sekuel dari Republik Reptil (2011), berdurasi 2 jam dan 30 menit, bercerita tentang konspirasi negara, melibatkan segolongan elite demi mendapatkan kekuasaan. "Seni teater sebagai mikrofon nurani dan pikiran. Di sini, ada perang batin dan konspirasi yang kami angkat," tutur Radhar, seusai pementasan.

Benang merah pementasan terletak pada tindakan kriminal tokoh Jenderal Bagus Girang alias BG (diperankan Toto Prawoto). Ia merupakan tokoh antagonis. Di masa remaja, ia memerkosa beberapa perempuan. Keganasan itu pun kian terjadi saat BG menamatkan pendidikan di akademi kepolisian dan mencapai pangkat tertinggi sebagai jenderal.

Jika jalan cerita mesti mengernyitkan dahi, tata panggung dibuat cukup sederhana. Ada dua sisi. Di sisi kiri, tampak panggung kecil berupa ruang kantor. Sementara itu, di sisi kanan digunakan sebagai ruangan lainnya. Semisal, penjara dan ruang tamu. Itu membuat pementasan tidak monoton.

Pembungkaman
Dari belakang panggung, pengacara muda Awan Pangkas (Bambang Chandra Bayu) menuju ke sisi panggung sebelah kanan. Ia menemui Smoga Damaton (Eko D Zenah), seorang warga yang sedang ditahan di penjara.

"Pak Smoga, saya dari lembaga bantuan hukum. Saya ingin membantu Anda. Apa Anda terlibat jadi... (pembunuh dan pemerkosa)," tanya Awan. "Saya cuma ingin jadi diriku. Jadi manusia biasa," jawab Smoga. "Kenapa Anda tak mau ceritakan?" tanya Awan lagi. "Saya cuma ingin jadi diriku...," pekik Smoga.

"Apa Bapak diancam dengan orang-orang untuk tidak mau berbicara dengan saya?" Awan kembali menanyakan secara heran mendapati orang tua itu. "Ayo jawab, Pak," sambung Awan. "Saya cuma ingin jadi diriku. Jadi manusia biasa," ucap Smoga lagi.

Awan sedikit kecewa. Namun, ia masih menaruh kepercayaan meski jawaban Smoga sangat aneh. Kebenaran pasti akan terkuak demi sebuah keadilan. Smoga memang mendapatkan ancaman atas kasus yang direkayasa. Ia mengalami pembungkaman oleh elite. Ia diadili dengan pasal yang memberatkannya sehingga harus mendekam di 'hotel prodeo'. Itu membuat semua pihak tidak berani melacak. Apalagi, melibatkan petinggi, BG.

Persoalan Smoga juga membuat Kombes Marwah Hajat (Supri Boemi), perwira andal, mengalami perang batin. Ia harus mengikuti konspirasi, karier, dan menjaga komandannya sendiri yang bejat. Apalagi, Marwah pernah mengalami trauma. Istrinya pernah diperkosa atasannya, BG.

Tipu daya
Keinginan BG untuk mendapatkan kedudukan tinggi di Negeri Reptil membuat ia bersama sekelompok elite politik untuk menggulingkan Presiden Raung Itibar (Meritz Hindra). Berbagai akal bulus ia lakukan secara struktural. BG pun memanfaatkan Ratih Lestari Asa (Olivia Zalianty), seorang model seksi, untuk menggoda presiden. Pada bagian itulah, Ratih menggunakan segala kecantikannya untuk mencuri hati presiden. Bahkan, pada suatu adegan, Ratih berhasil menyusup ke kamar tidur presiden.

Ratih tampak menggeliat di atas tempat tidur dengan menutup dirinya dengan selimut panjang. Saat presiden hendak naik ke tempat tidur, betapa kaget ia. Presiden mendapati perempuan binal itu tanpa busana.

"Pergi kau!" teriak presiden. Sejenak, ia mengambil pistol dari meja. Ia menyodorkan ke arah Ratih. Suasana nampak tegang. Presiden pun mulai menaruh curiga pada BG yang telah menyusupkan Ratih ke rumah pribadinya.

Kehadiran Homo Reptilicus mengingatkan kita pada berbagai kasus. Sebut saja, cicak vs buaya atau persoalan pemilihan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang sempat memanas beberapa waktu lalu.

Radhar berani menelanjangi semua institusi. Mulai dari politikus, intelektual, pengacara, hingga polisi. Ia memberikan sebuah cermin lewat panggung untuk mengkritisi persoalan di negeri ini yang masih lekat dengan praktik korupsi.

Pementasan ini juga merupakan rangkaian dari serial diskusi buku terbarunya, yaitu Manusia Istana (kumpulan puisi),Politik Kebudayaan Dalam Politik (esai), Agama Dalam Adab Bahari (esai), dan Ekonomi Cukup (esai).

Lewat teater, ada kebenaran yang seakan ingin Teater Kosong suguhkan. Meski belum tentu, semuanya benar-benar adanya di panggung. "Bung Radhar dengan tubuhnya yang kurus dan ringkih masih tetap memberikan pemikiran tajam dalam kebudayaan. Ini membuat saya salut kepadanya," ujar cendekiawan Yudi Latif. (M-6)