Orang Rimba,Adat,dan Hutan

Penulis: Sri Utami Pada: Senin, 06 Apr 2015, 00:00 WIB DPR
Orang Rimba,Adat,dan Hutan

MI/Arya Manggala

BERTEMPAT di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hamba Kota Muaro Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi, sedikitnya enam anak-anak Suku Anak Dalam atau Orang Rimba tergolek di ruang perawatan.

Beberapa di antaranya, saat Media Indonesia mendatangi rumah sakit itu pada akhir bulan lalu, adalah bayi yang masih berusia enam bulan dan satu tahun. Anak-anak rimba itu harus keluar dari hutan karena diduga mengidap tuberkolosis (TBC).

Di Ruang Anyelir, Nipah Bungo, 3, dan Betangkal, 1, berbaring lemah dengan selang infus dan oksigen yang menempel di tubuh. Si bayi yang masih berusia setahun itu tertidur di pangkuan ibu mereka, Induk Ngembing. Dalam masyarakat Suku Anak Dalam atau Orang Rimba, induk adalah panggilan untuk ibu.

Dada sang bayi naik turun dengan cepat. Sesekali, Betangkal terbangun dengan mata memerah karena batuk hebat. Sang ibu langsung memosisikan sang bayi untuk duduk sambil mengeluarkan dahak dari mulut bayi.

Adapun Nemah, 11, yang merupakan anak Temenggung Nyenong yang merupakan ketua adat Terap dan Serengam, kondisinya memburuk. Dia pun dipindahkan ke ruang intensive care unit (ICU) akibat cairan yang memenuhi paru-paru.

Dalam kondisi seperti itu, perawat rumah sakit terus meminta induk atau bepak (bapak) untuk memberikan pakaian bagi ketiga anak yang sakit. Namun, permintaan tersebut hanya disambut induk dengan senyum sambil tertunduk.

''Iya kami bukannya melawan adat mereka demi kesehatan. Ketiga anak ini harus memakai pakaian apalagi ada yang masih bayi. Berulang kali kami minta, tapi bagaimana lagi kalau sudah adat,'' kata seorang perawat, Astuti.

Nipah Bungo, Betangkal, Nemah, adalah sebagian dari anak Orang Rimba yang hidup di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Mereka merupakan keturunan keluarga yang hidup di wilayah Terap dan Serenggam. Setiap keluarga rimba dipimpin pemimpin adat, atau temenggung.

Di ruang ICU berukuran 4x5 meter juga sempat menjadi tempat untuk menangani 13 anak Orang Rimba.

Selain itu, ada dua anak gadis dirawat terpisah di bangsal penyakit dalam. Mereka ialah Bedenai, anak Depati dan induk Merugis, serta Silang yang merupakan anak Wakil Temenggung Terap.

Budaya Suku Anak Dalam yang mengajarkan saling menjaga ditambah perlakuan terhadap perembuan seperti dewa, membuat Orang Rimba tidak pernah sendirian di tempat mana pun, apalagi di tempat asing seperti rumah sakit ini.

Di salah satu ruang perawatan diisi sekitar 11 Orang Rimba dari berbagai usia. Mereka terdiri dari tiga induk, tiga anak-anak, tiga bepak, dan dua balita. Salah satu bepak ialah Mangku Adat. Mereka sudah tinggal di sana selama sepekan secara bergantian.

Mangku adat Mengku Balai bertanggung jawab untuk menjaga para induk dan anak perempuan di rumah sakit. Meskipun, dia mengaku tidak betah dan ingin cepat kembali ke hutan yang telah menjadi tempat tinggal mereka.

''Akeh dak tahan siyoh. Akeh yang jago mereka. Kalo mereka di sikoi mako akeh yang jago (saya tidak tahan di sini. Saya yang jaga mereka. Kalau mereka di sini, saya yang menjaga),'' ujarnya.

Induk Merugis langsung menangis dan meraung sambil memeluk bayinya yang terbaring sakit pernapasan. Saat mendengar tangisan Induk Merugis begitu kencang, perawat langsung berlarian masuk ke ruangan.

Kegaduhan itu disebabkan saat Induk Merugis ditanyai mengenai suaminya yang meninggal dunia pada Desember 2014. Pasalnya, adat Suku Rimba melarang keras untuk menyebut apa pun tentang orang yang sudah meninggal.

''Mikay hopi boleh ngomong malaikat (mereka tidak boleh bicara tentang orang yang sudah meninggal),'' cetus Merugis sambil terus menangis.

Menurut pendamping Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi--lembaga yang fokus terhadap kelangsungan hidup Orang Rimba--Yomi Rivandi, adat Orang Rimba memang tidak boleh mengenang anggotanya yang meninggal.

''Sesuai dengan budaya mereka jika ada yang meninggal, semua barang dan tempat yang terkait dengan almarhum akan ditinggalkan. Mereka pun tidak mau jika ada orang yang mencoba menyinggung almarhum,'' kata Yomi.

Tidak betah
Wajah Berugit masih pucat. Tangan kanannya masih dihiasi kapas dan plester bekas cairan infus. Namun, suasana ruangan membuatnya tak nyaman. Ia pun ingin bergegas pulang ke hutan.

Berugit termasuk salah satu anak rimba yang terkena penyakit pernapasan. Perawatan selama lima hari membuatnya harus terpisah dari tempatnya yang baru karena melangun (pola nomaden yang biasa dijalani Orang Rimba).

''Akeh hopi sikoy (saya tidak mau di sini),'' rengeknya.

Begitu mengetahui Media Indonesia ingin memasuki kawasan hutan, wajah Berugit pun langsung semringah. ''Akeh, akeh nak balek (saya mau pulang),'' bujuknya.

Wajah Berugit semringah saat tahu akan pulang ke hutan, terlebih dengan menaiki mobil.

Berugit pun memilih untuk duduk di bagian bak belakang mobil. Sepanjang perjalanan membelah hutan, Berugit tertawa dan ikut bergoyang ketika roda mobil bergardan ganda masuk ke jalan berlubang.

Menurut pendamping dari KKI Warsi, Adhe, sikap tersebut menunjukkan kecintaan anak Orang Rimba terhadap adat dan kebebasan.(SU/T-2)