Mandi Sauna di Sepucuk Jambi

Penulis: MI/IWAN J KURNIAWAN Pada: Minggu, 19 Apr 2015, 00:00 WIB DPR
Mandi Sauna di Sepucuk Jambi

Grafis Ebet

TRADISI memandikan pengantin laki-laki dalam tatanan kebudayaan Melayu di Jambi mulai tergerus zaman. Modernisasi sudah menjulur ke sendi-sendi kehidupan masyarakat. Namun, masih ada sebagian masyarakat adat yang tetap setia. Mereka menjaga dan melestarikan petuah leluhur hingga kini. Salah satu tradisi yang mulai terlupakan, yaitu mandi batangas yang ada di Kota Jambi, Jambi. Ada ritus dan takhayul yang tanpa disadari masih kuat. Ini bukti nyata sebuah warisan leluhur masih bertahan di sana. "Sekarang masih ada, tetapi tidak semua orang mau menjalankan ritual ini. Mungkin sudah modern sehingga sebagian warga memilih untuk berdandan di salon ketimbang mandi di tengah malam," tutur budayawan Jambi, Junaidi T Noor, pertengahan pekan ini.

Meski mengalami pergeseran, dia melihat mandi batangas masih terjaga, terutama fungsi dan makna filosofisnya. Hanya ada perubahan dalam hal penggunaan media, terutama yang digunakan sebagai prosesi helatan adat itu. Empat tahun lalu, Junaidi turut terlibat dalam prosesi mandi batangas untuk anak pertamanya, Andika Pratama. "Andika dimandikan nenek (orang tua Junaidi). Ini sebagai warisan adat Melayu yang masih kami jaga. Begitu pula pada saat anak kedua saya, Tata Utari, nikah. Jangan sampai hilanglah tradisi ini," paparnya. Keberadaan mandi batangas atau kerap warga sebut sebagai 'mandi uap' menjadi penting. Bahkan, Junaidi juga mengikuti prosesi adat itu saat ia menikah pada 1975 silam. Baginya, ada hal yang kurang bila seorang calon pengantin tidak mengikuti prosesi adiluhung itu. "Tidak ada pantangan bagi yang tidak menjalankannya. Namun, ini warisan leluhur sehingga keluarga kami masih menjaga ritus ini. Era modern sekarang ini memang memberikan pengaruh yang kuat. Warisan ini patutu untuk diketahui generasi sekarang ini," tutur lelaki kelahiran 27 April 1947, itu. Meski sudah mulai jarang. Namun, prosesi adat ini masih bisa kita temukan di Seberang Kota Jambi (Sekoja). Sebagian warga masih menjaga kearifan lokal. Mereka yang hendak melangsungkan acara pernikahan, biasanya didahului dengan prosesi mandi di tengah malam. "Kalau zaman sekarang, ritual ini seperti mandi sauna. Ini memang unik karena dilakukan di tengah malam," papar Junaidi.

Tanpa keringat
Tradisi mandi batangas memiliki khasiat, yaitu untuk menghilangkan bau keringat di tubuh calon pengantin pria. Pun menghilangkan energi-energi negatif yang ada di dalam tubuh. Ini memang penting. Mengingat, bau keringat di ketiak biasanya selalu membuat orang lain tidak nyaman. Untuk mempersiapkan prosesi mandi batangas, pihak keluarga (baik laki-laki maupun perempuan) harus menyiapkan berbagai jenis rempah-rempah sebagai bahan ramuan. Berbagai ramuan yang biasa digunakan, yaitu daun sariwangi, daun pandan, kembang tujuh warna, jeruk purut, daun sirih, dan daun salam. Semua ramuan direbus di dalam kuali. Setelah mendidih, si laki-laki pun akan mulai mengikuti ritual. Pada sesi inilah, si laki-laki akan menjadi 'raja sehari di pelaminan'.

Ia dimasukkan ke sebuah gulungan tikar berukuran 1x2 meter sambil duduk santai di kursi kecil. Gulungan tikar paling atas ditutup dengan kain tebal Ini untuk menjaga suhu panasnya. Si lelaki harus duduk menghadap ke rebusan rempah-rempah yang sudah mendidih. Pada sesi ini, si lelaki seolah-olah berada dalam sangkar. Keringat pun bercucuran akibat uap dari dalam kuali. Setelah rebusan mulai dingin, barulah ia keluar dari gulungan tikar. Semua badannya akan bermandi keringat. Ini memberikan sebuah ketenangan dan kebersihan batiniah. Ada kesegaran di tubuh dan kecemerlangan di wajah bagi yang percaya. Prosesi mandi batangas biasanya memakan waktu sekitar 1-2 jam.

Ini membuat sekujur tubuh basah karena uap panas dari racikan ramuan khasiat itu. Prosesi mandi ini memberikan sugesti positif. Badan akan terasa segar saat bangun di pagi harinya untuk menyongsong malam pertama dengan calon istri.  Di zaman dahulu, warga selalu menggunakan tikar yang terbuat dari daun pandan. Namun, daun pandan sudah jarang dijual di pasar. Hal itu membuat warga kerap menggantikannya dengan tikar sintesis yang dijual di toko. "Malahan, ada yang menggunakan jas hujan untuk menahan uap. Jas hujan ternyata ampuh karena uap yang masuk lebih bertahan lama," cetus Junaidi, kakek dua cucu, ini.  Tradisi mandi batangas menjadi hal mutlak. Tidak ada pantangan bagi calon pengantin yang tidak menjalankan prosesi ini.

Namun, warga percaya, lewat mandi batangas, ada aura positif bagi calon pengantin. "Ada filosofi dalam tradisi ini, yaitu agar tak layu batang (kemaluan) saat malam pertama. Ini memang terdengar lucu, tetapi ini yang ada, ha ha," sambung Junaidi, seraya tertawa nyengir. Penulis buku Mencari Jejak Sangkala: Mengirik Pernik-Pernik Sejarah Jambi (2011) itu, pun menilai keberadaan adat patut untuk dilestarikan. Sayang, di tengah modernisasi tidak sedikit warga yang menggunakan jasa layanan salon kecantikan. "Ini memang modern. Namun, bila kita ingin melihat kearifan lokal, ada sensasi lewat mandi batangas. Ini warisan leluhur yang terbukti ampuh," ucapnya, serius. Pemerhati kebudayaan Jambi, BJ Rio Temenggung Tuo menilai tradisi dalam masyarakat adat patut untuk dilestarikan. Ini berguna agar generasi muda memahami tentang nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat adat. Lewat ritual mandi batangas, warga percaya ada hal-hal positif. Wajah semakin cemerlang. Dan, tentunya penuh percaya diri saat memasuki malam pertama. Sudah waktunya, generasi muda ikut menjaga tradisi adiluhung dari bumi 'Sepucuk Jambi Sembilah Lurah' itu.