Seni dari Lorong Kampus

Penulis: MI/IWAN J KURNIAWAN Pada: Minggu, 19 Apr 2015, 00:00 WIB DPR
Seni dari Lorong Kampus

MI/IMMANUEL ANTONIUS

SESOSOK wajah Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan yang melegenda, tampak tenang di sudut salah satu tembok. Wajahnya bersinar seakan tetap hidup di zaman ini. Lewat sekrup-sekrup yang tertancap di atas kayu berlapis, seniman muda Basit Abdillah menghadirkan tokoh dunia pendidikan itu lewat karyanya berjudul Ki Hajar Dewantara (120x120 cm, sekrup di atas kayu, 2015). Kehadiran Ki Hajar Dewantara (1889-1959) memang menjadi penting. Apalagi, ia merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan hingga akhir hayatnya. Kehadiran karya Basit memang memberikan ingatan-ingatan lampau. Nalar pengunjung pun dibuat untuk menerka setiap sekrup yang bila dilihat secara fokus, tampak wajah tokoh.

Karya ini bisa dilihat pada pameran seni rupa Karya Mahasiswa Indonesia 2015 bertajuk Nalar, Sensasi, dan Seni di Galeri Nasional, Jakarta, pertengahan pekan ini. Pameran ini menghadirkan 105 karya seniman kampus dari 27 perguruan tinggi di Tanah Air. Para peserta berasal dari universitas dan institusi seni yang berada di Jawa, Bali, dan Sumatra. Lewat pameran ini, kita dapat melihat perkembangan mutakhir seni rupa ala kampus. Setiap mahasiswa lihai menyajikan karya, baik berupa lukisan, instalasi, pahatan, video art, dan mural. Setiap karya memang matang secara konsep. Apalagi, dipilih lewat kuratorial tiga kurator, yaitu Rizki A Zaelani, Soewarno Wisetrotomo, dan Citra Smara Dewi. "Pameran ini menampilkan karya-karya yang dikerjakan mahasiswa atas pilihan minat dan kesadaran mereka sendiri. Mereka telah mencurahkan usaha dan kerja keras demi memahami problematika penciptaan seni," tutur Rizki dalam kuratorialnya.

Pencarian
Salah satu peserta pameran, Maya Juniari Hegar lewat karya lukisanya Ambang (120x130 cm) menghadirkan diorama-diorama absurd. Pencarian atas kebenaran dan ketidakbenaran menjadikan ia kian mapan dalam menunjukkan diri lewat karya  tersebut. Pada karya ini, ada sebuah lorong cahaya. Ada semacam pintu atas kebenaran yang tampak. Sepintas pengunjung langsung mengingat akan sebuah gua. Namun, Maya punya cara tersendiri untuk memberikan sebuah rahasia atas pencarian, baik cinta, hidup, maupun pendidikan di ranah dunia keremajaannya. Berbeda dengan Deval Nimrod Manullang. Dia menghadirkan karya berjudul Manusia Rasa Malaikat (150x100 cm, charcoal on canvas, 2015). Ini memang cukup khas.

Pasalnya, ia menghadirkan sesosok gadis bersayap sedang duduk sambil berpaling ke kanan. Malaikat ini kerap ditemukan dalam kitab-kitab suci agama bumi. Dengan sedikit keuletan, Deval mampu menghadirkan dunia surealis. Tema-tema secara umum masih universal. Selain mengupas tentang dunia sivitas akademika, para peserta juga mengangkat tentang dunia politik.  Itu bisa kita tengok pada karya-karya yang mengangkat tentang sejumlah sosok yang pernah menjabat dan memimpin di negeri ini. Satu karya unik lainnya, yaitu Ayo Jokowi, Bangun Jokowi! (60x60x100 cm, cetak resin dan mix media, 2015) suguhan Galang Aldinur Masabi. Pada karya ini, Galang menghadirkan patung Presiden Joko Widodo yang tengah mengacungkan tiga jari (salam tiga jari) saat Jokowi, sapaan sang presiden, berkampanye.

Penggunaan pakaian kotak-kotak langsung memberikan gambaran atas sesosok tokoh yang berasal dari kalangan sederhana, tetapi mampu mencuri hati masyarakat Indonesia. Lewat perspektif sosok Jokowi, Galang lihai menuangkan ide-ide untuk ia realisasikan lewat karya tiga dimensi itu. Tentu saja, ini menjadi menarik. Apalagi, tokoh politik memang selalu jadi perhatian publik, mulai dari rakyat jelata hingga elite di negeri ini. "Karya Galang yang mengusung Jokowi sengaja dipasang berpisah dengan Ki Hajar untuk membedakan dua dimensi dan tiga dimensi. Saya kira, karya mahasiswa memang laik untuk dikaji dan disaksikan masyarakat," ucap Citra yang juga dosen di Institut Kesenian Jakarta, itu. Kehadiran pameran Nalar, Sensasi, dan Seni, ada hal menarik yang patut ditelisik dan ditafsirkan. Mahasiswa seakan ingin menunjukkan diri sebagai agen perubahan dalam dunia seni rupa kontemporer. Mereka menyajikan radar tanpa berharap untuk menjadi seniman sesungguhnya. Berawal dari kampus dan berakhir pada diri mereka saat terjun kelak ke masyarakat.