Gonta-Ganti Lembaga Nonstruktural dan Fatsun Politik

Penulis: Nur Aivanni Pada: Senin, 23 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Gonta-Ganti Lembaga Nonstruktural dan Fatsun Politik

MI/RAMDANI

LAIN orang lain selera. Pepatah itu berlaku umum, tetapi yang paling dekat ialah dengan komunitas politik pada saat-saat pergantian pucuk pimpinan. Tak terkecuali sewaktu pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dipercaya rakyat untuk melanjutkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Bahkan jauh-jauh hari sewaktu masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi berjanji untuk membentuk pemerintahan yang efektif dan efisien. Birokrasi pemerintah yang ada waktu itu beserta turunan di bawahnya dinilai tidaklah pas.

Keinginan Presiden tersebut sepertinya segera terwujud. Tidak lama setelah dilantik sebagai presiden, Jokowi membubarkan 10 lembaga nonstruktural (LNS) dan menyatakan 40 lembaga sejenis lainnya akan menyusul. Namun, pada kenyataannya, justru diadakan lembaga seperti staf kepresidenan. Pada kelembagaan struktural pemerintahan ia tidak menyusutkan jumlah kementerian.

Pembubaran LNS tersebut dilakukan atas dasar Perpres Nomor 176 Tahun 2014 tentang Pembubaran 10 Lembaga Nonstruktural. Efisiensi anggaran bila dibandingkan dengan hasil kinerjanya menjadi pertimbangan prioritas.

Lembaga nonstruktural yang dimaksud ialah organisasi negara yang dibentuk peraturan khusus di luar UU Kementerian Negara dan UU Aparatur Sipil Negara yang bekerja menangani bidang tertentu. Meski demikian, karena kekhususannya itu, kewenangan lembaga itu tidak kalah strategisnya dengan lembaga struktural karena bisa menjadi regulator sekaligus eksekutor. Anggaran operasionalnya pun ditanggung rakyat melalui APBN.

Sekadar gambaran, hitung-hitungan yang dilakukan LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra pada 2013 terdapat 105 LNS yang dibuat pemerintahan SBY. Dari jumlah tersebut sebanyak 99 lembaga menghabiskan dana dari APBN mencapai Rp2,4 triliun per tahun. Sekitar Rp502 miliar dihabiskan untuk biaya pegawai.

Organisasi yang bergerak dalam bidang kontrol sosial untuk transparansi proses-proses penganggaran negara ini pada 2014 menyebut sebanyak 89 lembaga nonstruktural yang dibentuk pemerintah menghabiskan anggaran Rp4,9 triliun yang berasal dari APBN sebesar Rp2,1 triliun dan non-APBN sebesar Rp2,8 triliun. Jumlah itu tidak kecil mengingat tidak tertutup peluang terjadi pemborosan karena tidak jarang bidang garap yang dilakukan LNS juga dilakukan lembaga struktural yang ada.

Menurut Direktur Center for Budget Analysis Uchok Sky Khadafi, pembubaran 10 LNS pada 4 Desember lalu oleh Presiden Jokowi dan akan diikuti 40 lembaga lainnya pada akhir Februari ini tidak akan berakibat signifikan jika pada bulan-bulan berikutnya Presiden membentuk lembaga-lembaga baru. "Penghapusan tersebut sangat dimungkinkan lembaga yang sudah ada tidak sesuai dengan selera Presiden," ujarnya.

Uchok mengatakan adanya LNS serta pembentukan lembaga baru seperti Badan Ekonomi Kreatif hanya akan menambah pos anggaran negara serta mengakomodasi kepentingan pihak tertentu. Ia pun mempertanyakan keberadaan DEN (Dewan Ekonomi Nasional) yang sudah ada sebelumnya. Lebih jauh Uchok menaruh curiga LNS yang dibentuk nanti mungkin bertujuan memberi posisi kepada pihak oposisi pemerintah selama ini agar tidak melakukan kritik yang dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan.

Aspek yang tidak kalah pentingnya dikhawatirkan adanya tumpang-tindih kewenangan antara LNS dan kementerian. Menurut Uchok, akan lebih bijak jika pada saat memikirkan pembentukan LNS, diutamakan langkah untuk mengembalikan ke induk birokrasi. Misal, keberadaan BNP2TKI dikembalikan kepada Kementerian Tenaga Kerja dengan alasan bidang garapnya yang sama untuk menghindari tumpang-tindih serta menghemat anggaran negara.

"Kita juga melihat orang-orang yang ada dalam LNS biasanya tidak profesional karena tidak disyaratkan mengikuti uji kompetensi, berbeda dengan yang diatur di UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sehingga kesan bagi-bagi kue kepada orang yang berada di lingkaran pemerintahan semakin terbukti," tukasnya.

Penilaian senada dikemukakan pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf, kemarin. Ia setuju dengan langkah Presiden Jokowi jika tujuan menata ulang lembaga nonstruktural ialah menghindari kewenangan yang tumpang-tindih. Selain itu, penataan tersebut sebaiknya memperhatikan beberapa kondisi.

Sebuah lembaga yang menopang kerja pemerintahan, ujar Asep, bisa dihapus jika memang tidak berguna dan fungsinya sudah ditangani lembaga lain. Berikutnya, menggabungkan lembaga yang memiliki fungsi yang sama. "Selain itu, menyederhanakan strukturalnya. Jadi, tidak akan ada banyak jabatan karena akhirnya digabungkan," terangnya.

Ia menekankan langkah Jokowi yang mau menata kembali lembaga-lembaga tersebut sudah bagus. Kendati demikian, sambungnya, bukan berarti tidak boleh ada lembaga baru yang dibentuk. Hal itu bisa dilakukan jika sudah memenuhi kriteria.

Ia pun mencontohkan kementerian koordinasi baru, yakni Kementerian Koordinasi Bidang Maritim dan Badan Cyber Nasional untuk memperkuat pertahanan. "Pembentukan badan tersebut karena kemajuan teknologi dan ketahanan informasi yang rawan dengan kejahatan dan itu tidak ada lembaga yang menanganinya. Itu kan konsen-nya sekarang," paparnya.

Selain hal itu, keberadaan beberapa lembaga nonstruktural memang dibutuhkan karena tidak bisa dilimpahkan kewenangannya. "Seperti KPK dan KPU. Memang tidak bisa didistribusi kewenangannya. Konsen kita kan efektivitas dan kontribusi. Jangan sampai ada tumpang-tindih," imbuhnya.

Terkait dengan adanya anggapan pembentukan LNS dikaitkan dengan bagi-bagi jatah kepada tim sukses Jokowi dan partai, Asep pun mencontohkan adanya kepala staf kepresidenan. "Staf kepresidenan itu kan cukup saja dipegang Mensesneg dan Setkab. Ada juga Wantimpres," ujar dia.

Evaluasi lapangan
Upaya mereformasi lembaga pemerintah sah-sah saja. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menyatakan pemerintah masih mengkaji secara mendalam rencana pembubaran 40 lembaga nonstruktural. Hal tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan efek anggaran yang telanjur sudah digelontorkan serta kerja sama lembaga dengan pihak eksternal.

"Agar nanti saat pembubarannya tidak menimbulkan masalah baru," kata dia, di Istana Negara, Jakarta. Kajian itu dilakukan secara bersama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan Rebiro). Andi memegang posisi ketua pembahas.

Menpan dan Rebiro Yuddy Chrisnandi menjelaskan kesepuluh lembaga nonstruktural yang akan dibubarkan tersebut ialah hasil assessment berdasarkan rekomendasi dari pemerintahan sebelumnya.

"Secara nilai tidak terlalu memberikan kontribusi bagi pembangunan nasional dan sekadar menghabiskan anggaran pemerintah, tapi tidak dibubarkan di pemerintahan sebelumnya. Karena itu, Presiden Jokowi lakukan," ujarnya di Jakarta.

Ia menjelaskan Kemenpan dan Rebiro masih terus melakukan evaluasi akademis terhadap 40 lembaga nonstruktural dari total masih ada 120 lembaga untuk melihat efisiensi dan kinerjanya. Apabila perannya tidak cukup signifikan bagi pembangunan negara, dapat dibubarkan.

Evaluasi yang akan dilakukan meliputi evaluasi akademis, kegiatan pelaksanaan pembangunan, dan laporan BPKP. "Kemudian kita lakukan evaluasi terhadap kinerjanya, apakah masih layak dipertahankan atau perannya tidak begitu signifikan," terang Yuddy.

Setelah evaluasi akademis, tahapan akan dilanjutkan dengan observasi lapangan untuk melihat eksistensi lembaga nonstruktural tersebut. Tahapan selanjutnya didatangi satu per satu kelembagaannya. "Kita akan lihat, kantornya di mana, bagaimana orang-orangnya. Hasilnya dari sana kita akan ambil keputusan. Kalau tidak ada hasil signifikan dan menambah biaya penyelenggara negara, langsung kita bubarkan," tegas Yuddy.

Faktor penentu lainnya, menurut Yuddy, apabila terjadi duplikasi fungsi dan peran antar-LSN, tidak tertutup kemungkinan mereka akan digabung atau dilebur menjadi satu lembaga. LSN yang masih memberikan kontribusi tidak dibubarkan dengan catatan harus melakukan audit internal untuk mengefisienkan anggaran dan merampingkan struktur organisasi.

Terkait dengan pengalihan pegawai, Yuddy mengatakan pegawai LNS umumnya berstatus non-PNS sehingga dapat diberhentikan. Namun, bagi lembaga yang masih menggunakan jasa administratif pegawai pemerintah, mereka dapat disalurkan ke tempat lain yang memerlukan formasi. "Hak sipil dari mereka (PNS) yang masih bekerja tidak hilang," imbuhnya.

Diperkirakan, pembubaran LNS itu ditaksir akan menghemat anggaran negara ratusan miliar rupiah. Hitungan tersebut merujuk ke 10 lembaga yang dibubarkan baru-baru ini. Ia mencontohkan dari deputi tata laksana kelembagaan mencapai Rp100 miliar lebih untuk satu tahun anggaran. "Bayangkan mereka sudah berjalan puluhan tahun. Pemborosannya besar sekali kalau ternyata fungsinya tidak signifikan," pungkas Yuddy.

[email protected]