Jangan malah Gelar Bancakan!

Penulis: Arif Hulwan/P-5 Pada: Senin, 23 Feb 2015, 00:00 WIB DPR
Jangan malah Gelar Bancakan!

MI/IMMANUEL ANTONIUS

SEBUAH misi mulia, tidak bisa tidak, harus dilatarbelakangi dengan alasan dan proses jelas. Bila tidak, timbullah permasalahan sehingga malah membuat misi gagal terlaksana. Itulah fakta nyata lembaga nonstruktural yang sejak era reformasi sudah mencapai 120 buah.

Keberadaan lembaga nonstruktural sejatinya mengusung semangat mulia, yakni menjawab desakan publik atas lembaga utama yang belum bekerja efektif, misalnya saja Komisi Hukum Nasional yang lahir karena kinerja Kementerian Hukum dan HAM belum sesuai dengan harapan masyarakat.

Jimly Asshiddiqie, dalam buku Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi, menyebut lembaga nonstruktural menjalankan fungsi campuran antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan penghukuman.

Itu disebabkan kekuasaan tak cukup efektif melawan intervensi politik, konflik kepentingan, mengendalikan liberalisasi ekonomi dan politik, serta menaungi rakyat yang makin sadar akan suaranya dalam mewujudkan doktrin negara kesejahteraan atau welfare state.

Kekuasaan, meski sudah dibagi-bagi menjadi tiga--legislatif, yudikatif, dan eksekutif--sesuai dengan teori trias politika milik filsuf politik Montesquieu, tetap harus dikontrol rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi.

Sebagai respons atas dinamika itu, tumbuh suburlah lembaga di luar struktur tiga bentuk kekuasaan tersebut alias lembaga nonstruktural di berbagai belahan dunia sejak awal abad ke-20. Akan tetapi, pembentukan lembaga nonstruktural di Indonesia malah melahirkan masalah baru.

Permasalahan itu setidaknya mencakup, pertama, pembentukan hanya karena isu parsial akibat kejadian tertentu. Kedua, adanya politik akomodasi terhadap tim sukses atau pihak yang dianggap bakal kritis pada penguasa.

Akibatnya, penyusunan payung hukum yang dimiliki tak cukup kuat menopang kewenangannya. Lembaga-lembaga itu pun bekerja sendiri-sendiri, nihil sistematisasi kerja dan sinergi sekaligus tumpang-tindih kewenangan dengan lembaga utama.

Lembaga nonstruktural yang merupakan bentuk kemenangan pihak nonnegara atas kewenangan negara yang terlalu besar dalam ranah kebijakan publik malah menghambur-hamburkan miliaran rupiah uang rakyat yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Makna utama pembentukan lembaga ekstra legislatif, ekstra eksekutif, dan ekstra yudikatif itu pun jauh panggang dari api. Presiden Joko Widodo yang sejak era kampanye pemilu presiden selalu menggaungkan penghematan anggaran dan pemangkasan birokrasi menyadari itu.

Sebanyak 10 lembaga nonstruktural telah dihapuskan atau dilebur ke kementerian/lembaga relevan. Sebanyak 40 lembaga lainnya ada dalam proses pengkajian pembubaran. Ini sebenarnya sebuah ironi bila kita menengok ke belakang tentang misi mulia lahirnya lembaga nonstruktural tersebut.

Yang perlu diingat, tak semuanya lembaga nonstruktural itu pemborosan. Beberapa memegang peran kunci.

Publik selalu teringat KPK saat bicara pemberantasan korupsi. Pihak yang lelah dengan perilaku hakim bakal mengadu ke Komisi Yudisial, yang tak nyaman dengan pemberitaan akan meminta pertimbangan ke Dewan Pers, kaum marginal yang hak-haknya disisihkan moncong senapan bakal mengadu ke Komnas HAM, serta banyak lagi lainnya.

Selektif dalam pembubaran lembaga nonstruktural ialah darurat demi menjaga terwadahinya suara masyarakat sekaligus melawan upaya pihak yang tak nyaman dengan peran protagonis lembaga tersebut.

Harus diingat pula, anggaran yang dihemat lantaran pembubaran lembaga itu mesti dialihkan kepada pemiliknya, yakni rakyat. Jangan itu malah berpindah ke lembaga baru yang dibentuk untuk mewadahi tim sukses yang belum kecipratan kuasa.