Manusia Badut dan Absurditas

Penulis: MI/Iwan J Kurniawan Pada: Minggu, 01 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Manusia Badut dan Absurditas

MI/ATET DWI PRAMADIA

TIGA hari menjelang pameran lukisan tunggalnya, perupa Tatang Ramadhan Bouqie masih sibuk menyelesaikan sisa karyanya. Sebagai manusia biasa, kerap ia mengalami kebuntuan ide selaiknya kebanyakan seniman. Namun, kondisi itu tidak berlarut-larut. Bahkan, istrinya, Jeanelle Virginia, diam-diam memerhatikan setiap perubahan. Baik tingkah laku maupun gelagak aneh sang suami. Untunglah, Jeanelle, memang sudah paham betul. Lewat kesetiaan sebagai belahan jiwa, ia pun mendukung pameran lukisan sang suami bertajuk Human Absurdity harus berjalan sukses. "Bapak kebiasaannya masih nyleneh. Saat tinggal tiga hari menuju pameran, bapak biasa-biasa saja. Tapi, saya tahu ada sesuatu (mengganjal). Obatnya, bapak dengerin lagu dangdut Pakistan, ha ha," cetus Jeanelle di sela-sela pembukaan pameran Human Absurdity di Galeri Cemara 6, Menteng, Jakarta Pusat, pertengahan pekan ini. Sebagai seniman, Tatang, memiliki loyalitas tinggi dan komitmen berkarya.

Setiap karya yang ia hasilkan merupakan hasil pengendapan, baik berupa peristiwa bangsa maupun kejadian sederhana sehari-hari. Pameran kali ini menjadi oase. Sebelumnya, ia mengikuti pameran bersama Picturing Pictures di Ho Chi Minh City Fine Arts Museum, Vietnam, 19-29 Juni 2013 silam. Tatang mempunyai kekuatan imajinasi liar. Ia menghadirkan sesuatu yang dinilai rumit menjadi enteng. Menengok pameran tunggal yang berlangsung hingga 9 Maret mendatang, puluhan karya Tatang terasa matang. Kematangan itu bisa terlihat pada periodisasi karya yang tersuguhkan secara sungguh-sungguh. Ada karya berupa ilustrasi. Ada pula berupa lukisan. Semuanya memiliki kesatuan. Maklum, Tatang merupakan alumnus Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain, Institut Teknologi Bandung.

Corak gerakan seni rupa Bandung memang tak bisa dipisahkan darinya. Karya-karya pada pameran Human Absurdity begitu impresif. Lelaki kelahiran Bandung, 11 Mei 1953, itu, seakan masuk ke dunia dongeng dan fiktif. Ia 'memanusiakan' kembali pesohor dunia. Lihat saja pada karya Hitchcock sebagai Badut (2015) atau Charlie sebagai Terpidana tak Mau Bicara. Pada Hitchcock sebagai Badut, Tatang memberikan sebuah perspektif dunia badut yang selalu ceria. Dalam karya itu, tampak Sir Alfred Joseph Hitchcock (1899-1980) sedang bermain sirkus. Hitchcock mengendarai sepeda ban satu. Di tangan kanan ada seikat anggur. Sedangkan, tangan kirinya diangkat setinggi telinga sebagai penyeimbang. Inilah kejenakaan Tatang. Ia menghadirkan absurditas kemanusiaan secara terampil. Ia menghadirkan Hitchcock, sutradara film yang juga pionir dalam menghadirkan film psikologis dengan pendekatan sinematografi apik (psychological thriller). Tentu saja, karya Hitchcock sebagai Badut menjadi sebuah karya masterpiece kelak, yang mungkin bakal diburu pesohor industri film di Inggris dan Amerika Serikat. Karya Charlie sebagai Terpidana tak Mau Bicara pun kian menggambarkan karakteristik Tatang. Charlie Chaplin (1889-1977) ialah aktor komedi Inggris yang melegenda. Namun, di tangan Tatang, Chaplin menjadi seorang pesakitan. Chaplin tampak hanya duduk sopan seraya menggenggam gigi-giginya. Karya ini memang menarik seolah-olah sebagai satir dan alegori.

Maritim urban
Dua karya tersebut sebagai perwujudan manusia badut dan absurditasnya. Tatang bukan sekadar mengkritisi situasi. Namun, jauh lebih dalam, ia seakan memberikan pandangan luas tentang kekonyolan sosial yang ia sampaikan lewat seni. "Ia mampu merekam tiap pengalaman unik, absurd, dan konyol dalam perjalanan hidupnya sebagai warga urban. Saya melihat Tatang sebagai pribadi yang konsen unsur menghadirkan warna visual yang menarik," puji Chandra Johan, kurator seni rupa. Terlepas dari kepiawaian Tatang, ada tema besar yang seakan luput, terutama dari mata para pengunjung, malam itu. Sesungguhnya, tema maritim urban begitu kuat dalam beberapa karya. Itu memang nampak jelas. Asalkan, kita jeli dan sabar, terutama menganalisis secara detail dan empirik. "Saya melihat karya-karya Tatang sebagai maritim urban. Hanya segelintir orang saja (yang mengangkat tema itu dalam karya). Sementara, Nasirun sebagai maritim plural," nilai budayawan Radhar Panca Dahana.

Maritim urban, menurut Radhar, karena Tatang mampu melakukan eksploitasi kehidupan kota. Berbagai persoalan dan problematika mampu ia tuangkan secara jelumat. Hal itu membuat warna tersendiri dalam karyanya. Corak warna dan ornamen membuat penikmat seni rupa bisa sedikit mengingat pelukis Nasirun yang juga sering menjadi perbincangan serius dalam jagat seni rupa dunia. Terlepas dari karya berupa lukisan, ada pula beberapa karya Tatang berupa karya ilustrasi era 2000-an. Sebut saja Catatan Panjang, tak Terbaca dan Bayang-Bayang yang Menjauh. Dua ilustrasi itu memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam ilustrasi cerpen di harian Media Indonesia. Pasalnya, Tatang merupakan seniman yang pernah aktif sebagai creative director di Media Group yang menaungi harian Media Indonesia dan Metro TV (1999-2008).

Lewat pameran Human Absurdity, ada sebuah isyarat ilustrasi dan lukisan memiliki garis kesetaraan. Kesetaraan karena keduanya menyampaikan ide agar 'menghibur' khalayak. Bedanya, ilustrasi menggunakan media kertas, sedangkan lukisan menggunakan media kanvas. "Bagi saya mah totalitas itu penting atuh dalam berkarya," ucap Tatang. Ayah dua anak yang juga dosen ini mencoba memberikan perspektif absurditas lewat pameran kali ini. Tatang mampu 'membunuh' tirani di kepalanya sendiri. Hal ini mengingatkan kita pada filsuf Albert Camus tentang suatu ketidakpastian hanya dapat diselesaikan lewat sebuah karya seni.