Benteng Berjalan untuk Gajah

Penulis: FERDIAN ANANDA MAJNI Pada: Minggu, 08 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Benteng Berjalan untuk Gajah

MI/FERDIAN ANANDA MAJNI

Amukan kawanan gajahlah yang membuat satu-satunya pabrik tebu di Dusun Mandarek, Desa Alue Gadeng, Bener Meriah, Aceh, itu berhenti beroperasi. Saat Media Indonesia bersama rombongan WWF Indonesia berkunjung Rabu (18/2) itu, warga pun belum banyak beraktivitas di luar rumah. Pasalnya, dua dari puluhan gajah sumatra (Elephas maximus sumatrensis) yang masuk perkampungan masih ada di hutan sekitar kebun warga.

Di Dusun Sisugoe yang berdekatan, kawanan gajah masuk ke sekitar 100 hektare kebun warga hingga menyebabkan gagal panen. Bukan hanya kehilangan pendapatan, tidak sedikit keluarga yang juga kehilangan anggotanya akibat konflik dengan gajah.

"Kini, warga Dusun Sisugoe harus menjadi buruh petik kopi di desa tetangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan kebun mereka dibiarkan begitu saja," sebut Kepala Dusun Sisugoe, Desa Alue Gadeng, Samuddin.

Meski pilu, manusia jugalah yang sesungguhnya mencetus konflik. Suheri, Kepala Yayasan Penyelamatan Satwa Bener Meriah, menjelaskan konflik manusia dan gajah di kawasan yang semakin memuncak tiga tahun terakhir ini merupakan buah perambahan hutan.

"Habitat gajah sudah terganggu seiring dengan adanya perambahan hutan dan illegal logging sehingga kawanan gajah pindah ke perkebunan warga yang ditanami pisang dan tebu," ujarnya.

Camat Bener Meriah, Mukhtar, pun sepakat. Luas kawasan hutan di Bener Meriah semula mencapai 55% atau 104.814 hektare dari total lahan. Namun, sekitar 14 ribu hektare hutan itu telah rusak, itu termasuk sekitar 500 hektare hutan lindung.

Konflik tersebut juga sebenarnya petaka bagi populasi gajah. Mamalia tersebut sudah dikategorikan terancam punah oleh Lembaga Konservasi Dunia (IUCN). Kajian WWF-Indonesia menunjukkan populasi gajah sumatera dalam 25 tahun telah menyusut hingga lebih dari separuh.

Estimasi populasi pada 2007 ialah 2.400-2.800 ekor, tetapi kini diperkirakan telah menurun jauh dari angka tersebut. Jumlah kematian gajah yang dapat terdata selama periode 2004-2014 mencapai 114 ekor. Sementara itu, di Provinsi Aceh, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memperkirakan populasi saat ini hanya tinggal 460 gajah.

Jumlah itu mengkhawatirkan karena gajah sesungguhnya berperan sebagai spesies payung. Yakni, spesies yang keberadaannya ikut melestarikan spesies lainnya.

Namun, Kepala Mitigasi Konflik Gajah-Harimau WWF Indonesia Syamsuardi menilai sebenarnya manusia dapat hidup berdampingan dengan gajah. Kuncinya ada pada toleransi terhadap keberadaan gajah.

"Manusia harus punya toleransi dengan melihat kebutuhan gajah di samping kebutuhannya (manusia). Kuncinya ialah berbagi ruang, di saat manusia bisa hidup dan gajah pun bisa menggunakan beberapa area yang telah menjadi trek mereka bergerak," tuturnya.

Meriam karbit
Syamsuardi mengungkapkan langkah penting pertama ialah menghindari korban dari konflik tersebut, baik manusia maupun gajah. Selama ini jatuhnya korban manusia dinilai karena metode pengusiran gajah yang salah.

Biasanya warga menggunakan mercon yang dibakar dan kemudian beramai-ramai menghadang gajah. Namun, hasilnya malah kerap membuat kepanikan gajah dan akhirnya berbalik menyerang manusia. Gajah pun umumnya akan kembali lagi ke lokasi selang beberapa hari.

Syamsuardi lantas mengenalkan pengusiran gajah menggunakan meriam karbit. Menurutnya, alat tersebut sudah 10 tahun digunakan di daerah-daerah lain. Alat yang dapat dibuat sendiri oleh warga itu terbukti mampu mengusir gajah dan tidak membahayakan penggunanya.

Meriam karbit terbuat dari pipa paralon dengan diameter 3 inci. Salah satu sisi pipa dilubangi seukuran koin dan disambungkan dengan tabung logam yang diberi lubang berbentuk persegi panjang. Sementara itu, salah satu lubang di pipa tersebut disumbat dengan bulatan kayu yang telah dibentuk.

Agar mudah digunakan, tali karet yang digunakan untuk mempererat sambungan pipa dan tabung logam dilebihkan agar mudah digantung di bahu. "Alat ini digunakan bukan untuk menakut-nakuti gajah, tapi dibuat sebagai alat komunikasi dengan gajah. Harapannya ketika gajah mendengar suara meriam ini, gajah menjauh sehingga strategi pengusiran dapat digunakan dengan alat ini," jelas Syamsuardi. Agar efektif, wilayah yang rawan konflik gajah harus memiliki minimal 10 unit meriam karbit.

Namun, untuk mitigasi konflik manusia-gajah, pengusiran menggunakan meriam saja tidak cukup. Warga juga harus dibimbing mengadakan simulasi dan menyiapkan barel untuk menghambat gajah.

Lebih jauh, upaya penghindaran konflik yang paling tepat ialah dengan menghormati trek atau jalur lintasan gajah. Jalur tersebut semestinya steril dari pembukaan lahan.

Mitigasi itu tentunya hanya dapat terlaksana dengan peran pemerintah daerah dan lembaga konservasi terkait. Mereka harus dapat mengidentifikasi trek itu, menyosialisasikannya kepada warga dan menjaga keberadaan trek tersebut.