Keluarga Atasi Baby Blues

Penulis: Siti Retno Wulandari Pada: Minggu, 08 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Keluarga Atasi Baby Blues

THINK STOCK

RASA malas kian terasa saat malam datang. Terlintas menjadi perempuan karier lebih baik ketimbang meminang buah hati. Itu yang dirasakan Almaida, 31, pascamelahirkan anak pertamanya dua tahun lalu. Perasaan senang dan berkah bercampur dengan sedih dan kesal kerap menghantui. Alma takut tidak bisa menjadi ibu yang baik karena belum siap memangkas waktu untuk diri sendiri.

Serba buru-buru, begitu Alma menggambarkan rutinitasnya, seperti mandi dan makan. Begitu terdengar tangisan anaknya, Alma segara menuntaskan kegiatannya. Malam hari pun ia kerap tidak bisa tidur.

Stres, kata Alma. Ia pun mulai membiarkan anaknya menangis atau ia sendiri ikut menangis tanpa melakukan apa pun pada anaknya. Bahkan ia membangunkan ibunya ketika anaknya menangis dan ia akan menyendiri berharap ketenangan.

"Takut ditinggalin, takut segala sesuatunya harus aku kerjakan sendiri, sementara waktu istirahat itu sangat kurang. Kehidupanku berubah 180 derajat. Pada saat itu aku enggak sadar kalau aku mengalami baby blues. Aku pernah melihat kejadian serupa pada kakak," cerita Alma ketika berbincang dengan Media Indonesia di Jakarta, Rabu (4/3). Rasa itu dialami Alma hingga 40 hari pascakelahiran sang anak.

Keluhan dan isak tangisnya terdengar keluarga. Mereka paham kondisi Alma dan berupaya meringankan keluhannya. Termasuk sang suami yang hanya pulang satu kali dalam sepekan karena harus bekerja di Jakarta dan Alma berada di Bandung.

Perhatian kecil dari suami dan nasihat orangtua berhasil membuat dirinya bangkit. Ia mulai mengurangi stres dan ketakutannya tidak terbukti karena dukungan keluarga.

"Peran suami tuh besar lho, dia ambilin aku minum seusai menyusui. Dia yang begadang, anak dikasih ke aku kalau mau menyusui. Diambilin bantal untuk pengganjal pinggang biar enggak sakit. Pun dengan orangtua yang selalu di sisi, itu menenangkan," ucap perempuan yang mengaku tidak pernah merasa sindrom tersebut kambuh.

Stres yang sama juga dialami Bunga, 31, pascamelahirkan anak keduanya. Anak keduanya lahir dalam kondisi prematur, pada usia kandungan 6,5 bulan. Ia sempat tidak mau pulang dari rumah sakit setelah hampir empat bulan tinggal di sana.

Takut yang paling besar dirasakan Bunga ialah tidak yakin bisa merawan sang buah hati tanpa bantuan dokter dan suster. Setiap malam Bunga menangis sambil memandangi anaknya. Ia pun akhirnya mengadu ke orangtuanya.

"Ini anak kecil banget, apa aku bisa ngejaganya kalau di rumah sakit kan terjamin, tenang gitu bawaannya. Aku jadi susah tidur, menyendiri, nangis-nangis selama satu bulan. Setelah itu, aku putuskan untuk pakai suster yang bisa membantu," tukas Bunga lirih. Hingga kini, ia pun masih sering merasa sedih ketika memandangi bocah perempuan kesayangannya.

Sementara Nadya, 29, mengaku tertekan dan sempat menangis hingga memarahi buah hatinya. Terkadang kalau tak tahan, Nadya menepuk-nepuk anaknya sambil terus memarahi. Ia mengaku faktor kurang istirahat menjadi pemicu tekanan tinggi dan mencipta emosi.

"Anak aku ya nangis saja, namanya juga dimarahi. Merasa enggak sanggup ngurusnya, selama sebulan aku bolak-balik stres seperti itu. Hilang sendiri perasaan itu, tetapi nanti kambuh lagi," ceritanya.

Peran keluarga dan bersyukur

Alma, Bunga, dan Nadya sepakat, sindrom pascamelahirkan sebenarnya bisa mereka atasi, terutama jika sudah ada perkataan kesiapan dari keluarga baik secara moril maupun materiil. Hal itu dianggap menenangkan sehingga ketakutan pun tidak perlu datang.

Begitu juga dengan rasa syukur harus kerap disadari, pikiran yang baik seharusnya mendominasi. "Dukungan mereka membuat kita percaya diri, perlahan tekanan tersebut akan hilang," tukas Bunga.

Istirahat cukup juga menjadi satu cara mengantisipasi datangnya baby blues syndrome. Ibu harus pintar-pintar mencari waktu istirahat, dan sebisa mungkin dipaksa. Agar ketika bayi sedang butuh kehadiran ibu, rasa kesal tidak akan ikut datang.

"Kalau bayi kan jam tidurnya terbalik ya, siang tidur, malam bangun. Nah, sebaiknya ibu ikut tidur saat bayi tidur siang. Jangan malah mencari kegiatan lain he he he," saran Alma.

Kondisi baby blues sebenarnya ada tingkatannya. Dalam penelitian Postpartum depression karya Nurlisha Ardhilla yang disitat situs academia.edu, disebutkan ada tiga tingkatan postpartum.

Postpartum blues, sering dikenal sebagai babyblues, memengaruhi ibu setelah proses melahirkan. Ibu akan sering menangis tanpa sebab dan mengalami kecemasan. Kondisi ini akan kembali normal dalam dua minggu.

Tingkatan kedua ialah postpartum depression. Kondisi ini lebih serius dari babyblues. Ibu akan mengalami sedih dan emosi yang meningkat atau merasa tertekan, lebih sensitif, lelah, cemas, dan ketidakmampuan untuk merawat diri dan merawat bayi. Simton itu akan muncul secara mendadak atau bertahap dalam rentang pascamelahirkan hingga satu tahun setelah melahirkan.

Tingkat ketiga ialah postpartum psychosis, yang membutuhkan penanganan medis. Kondisi ini jarang terjadi dan memengaruhi 1 dari 1.000 perempuan yang melahirkan.

Gejalanya meliputi agitasi yang amat kuat, perilaku yang menunjukkan kebingungan, perasaan hilang harapan dan malu, insomnia, paranoia, delusi, halusinasi, hiperaktif, bicara cepat dan mania. Penanganan medis harus dilakukan sesegera mungkin dengan memasukkan penderita ke rumah sakit, karena kondisi ini juga biasanya disertai risiko bunuh diri atau menyakiti bayi. (academia.edu/M-4)