Kesalahan Denny Terungkap

Penulis: Putra Ananda Pada: Kamis, 26 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Kesalahan Denny Terungkap

MI/IMMANUEL ANTONIUS
Denny Indrayana

KEMENTERIAN Hukum dan HAM mengungkap dugaan pelanggaran yang dilakukan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana terkait dengan program payment gateway atau pembuatan paspor secara online.

Dalam proyek itulah Denny ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri.

Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri Kemenkum dan HAM, Ferdinand, mengatakan payment gateway yang diusulkan Denny bertentangan dengan peraturan menteri keuangan tentang mekanisme penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Ia menjelaskan agar terjadi tertib administrasi, pembayaran atau penyetoran PNBP yang berada di bawah pembinaan kementerian atau lembaga harus menggunakan Sistem Informasi PNBP Online (Simponi).

Dalam sistem itu Kemenkum dan HAM pun telah bekerja sama dengan BNI sebagai bank persepsi.

"Namun, mekanisme payment gateway berbeda dengan Simponi. Uang melalui Simponi ke bank persepsi langsung masuk ke kas negara, sedangkan dalam payment gateway, sebelum masuk ke kas negara, uang mengendap terlebih dahulu satu sampai dua hari di pihak ketiga. Hal ini dilarang dalam mekanisme PNBP," ujar Ferdinand di Jakarta, kemarin.

Program itu juga bermasalah karena Denny menunjuk beberapa bank sebagai tempat pembayaran biaya paspor dan tidak hanya terbatas pada bank persepsi.

Melalui payment gateway, pembuatan paspor dikenai biaya Rp360 ribu, dengan perincian Rp300 ribu biaya buku, Rp55 ribu untuk biometriks, dan Rp5.000 untuk administrasi bank.

Untungkan vendor

Denny yang juga dikenal sebagai pegiat antikorupsi kini menjadi tersangka kasus dugaan korupsi.

Oleh Bareskrim, ia disangka menguntungkan pihak lain dalam proyek payment gateway.

Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Charliyan menyatakan, dari hasil penyidikan diketahui Denny telah menguntungkan vendor yang menampung pungutan dalam program tersebut senilai Rp605 juta.

Kedua vendor itu ialah PT Nusa Inti Artha dan Finnet Telkom Indonesia.

Uang itu, jelas Anton, ditampung di rekening yang juga menampung dana PNPB sebesar Rp32.693.695.

"Menampung kan tidak boleh. Bagaimana kalau mengendap sebulan, bunganya bisa berapa?" katanya, kemarin.

Penyidik pun terus menelusuri apakah ada dana yang mengalir ke Denny.

Denny dijerat Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 23 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 jo Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Intinya, setiap orang yang memperkaya diri sendiri atau orang lain yang

dapat merugikan keuangan negara bisa dipidana paling lama 20 tahun.

Anton menambahkan penunjukan vendor sebenarnya tidak disetujui para staf Denny.

Penolakan muncul karena dibukanya rekening atas nama vendor itu untuk menampung dana pembuatan paspor dan baru setelah itu disetorkan ke kas negara.

Selain itu, papar Anton, telah ada program Simponi di Kemenkum dan HAM yang tidak memungut biaya tambahan apa pun.

Terpisah, Denny menyatakan kesiapannya untuk menjalani pemeriksaan, besok. Ia berkukuh penetapan dirinya sebagai tersangka merupakan kriminalisasi atas perjuangannya melawan korupsi.

"Insya Allah saya siap menghadapi proses hukum ini."

Kuasa hukum Denny, Heru Widodo, juga menegaskan kliennya tak bersalah.

"Semua dana yang diterima masuk ke kas negara. Tidak ada kerugian negara. Kami sudah siapkan bukti, saksi meringankan, dan ahli untuk membalikkan semua yang disangkakan kepada Pak Denny," tukasnya.

(Beo/Pol/X-9)