IS, Al-Qaeda, dan Terorisme Global

Penulis: Muhammadun, AnalisStudi Politik Peneliti pada Lajnah Ta'lif wan Nasyr PWNU DI Yogyakarta Pada: Kamis, 26 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
IS, Al-Qaeda, dan Terorisme Global

AFP
berkabung atas korban ISIS

GEGER Negara Islam Irak dan Suriah/NIIS (Islamic State of Iraq and Siria/ISIS/IS) makin mengguncang Indonesia tercinta ini. Sudah ratus­an warga Indonesia yang direkrut menjadi anggota IS, bahkan sudah ada 15 kelompok di Indonesia yang dibaiat menjadi bagian dari gerakan IS. Mimpi membangun negara agama itu menyasar kalangan anak muda yang melek internet (Media Indonesia, 23/3). Gerakannya berlangsung sangat masif, terorganisasi rapi, dan termasuk memiliki target besar dalam meruntuhkan tegaknya NKRI.

Karena sudah merusak dasar-dasar ber­bang­sa dan bernegara, gerakan ISIS harus di­­waspadai dan disikapi dengan serius. Pe­me­rintah tidak cukup menggunakan ­strategi yang ada karena basis gerakan IS sudah begitu sistematis, terlebih anak muda menja­di ­target utamanya. Dibutuhkan gerakan seluruh ele­­men bangsa, termasuk menggandeng se­lu­ruh ormas Islam agar mampu melakukan deradikalisasi secara masif sampai ke pelosok desa.

ISIS dan Al-Qaeda
Membaca IS tidak bisa dilepaskan dari ge­rakan Al-Qaeda. Al-Qaeda  awalnya ­memang identik dengan Osama bin Laden dan Trage­di 11 September, tetapi Al-Qaeda hari ini bu­kanlah sebutan nama saja, melainkan sebuah ideologi yang bergerak di semua lini dan menjelma dalam berbagai tragedi, termasuk di antaranya lahir dalam wajah bernama IS. Tidak sedikit juga warga dunia yang menjadi korban keganasan IS. Siapa saja yang menghalangi langkahnya untuk mendirikan negara Islam di Irak dan Suriah akan dihabisi. Dari sini, Al-Qaeda sebenarnya bisa bangkit kapan saja dan di mana saja, termasuk dalam kerangka IS.

Kenapa Al-Qaeda bisa 'bangkit' kapan saja dan demikian ganasnya? Kita bisa mene­lusurinya melalui akar-akar terorisme yang dikaji secara serius dalam buku bertajuk Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014). As'ad Said Ali, penulis buku tersebut, menelusuri Al-Qaeda bukanlah sekadar menelusuri dari buku ke bu­ku, melainkan dari sebuah pengalaman nyata di tengah pengabdiannya sebagai peja­bat Badan Intelijen Negara (BIN) di Timur Te­ngah pada 1982-1990.

Pengalamannya sepanjang delapan tahun me­nelusuri Timur Tengah mempertemukan­nya dengan berbagai kelompok Islam, mulai yang paling liberal, moderat, sampai paling fundamental ekstrem, tak terkecuali dengan pemimpin Al-Qaeda, Osama bin La­den. Semua berangkat dari Perang Afghanistan yang akhirnya menjadi permulaan lahirnya jaringan jihad internasional bernama Al-Qaeda.  

Gerakan Al-Qaeda adalah se­buah gerakan politik dengan ideo­logi jihad yang kuat dan memiliki jaringan global serta skill militer yang terlatih. Visi politik Al-Qaeda terumuskan dalam kalimat yang sederhana 'menegakkan Islam dan melindungi kaum muslimin'. Esensi ge­rakan Al-Qaeda ialah jihad dan pembentukan khilafah islamiyah secara mutlak. Makanya, gerakan Al-Qaeda bukan saja memusuhi pemerintahan negara Barat, melainkan juga seluruh negara muslim, termasuk Indonesia. Al-Qaeda akan memaksakan ideologinya kepada semua negara muslim agar menggunakan khilafah sebagai sistem pemerintahan. 

Karena itu, Al-Qaeda bisa tum­buh subur di mana saja, kapan saja. Terlebih di tengah masyarakat yang mengalami disorien­tasi dalam bernegara. Disorientasi itu dimanfaatkan Al-Qaeda untuk kebangkitan kembali ajaran dan ideologinya dalam menguasai sebuah negara. Itu persis dengan wajah barunya yang bernama IS yang lahir di tengah masyarakat yang hilang orientasi hidup bernegaranya sehingga mencari ideologi alternatifnya. Al-Qaeda menja­wabnya dan bangkitlah menjadi gerakan baru teroris. 

Generasi baru Al-Qaeda justru terlihat pasca-Osama tewas di Pakistan pada Mei 2011. Kematian Osama bukanlah akhir dari Al-Qaeda, justru permulaan babak baru lahirnya gerakan jihadis yang punya semangat menyala sebagaimana sudah diajarkan Osama. Tewasnya Osama menandai lahirnya gerakan jihad secara lokal dan sektoral, terbukti dengan lahirnya IS. Akan lahir gerakan teroris baru dalam lokal negara tertentu sehingga kalau semakin banyak, bisa membangun jejaring internasional.

Di mana suatu negara terjadi kekecewaan, ketimpangan, dan ketidakadilan, Al-Qaeda akan bangun. Kematian Osama justru menjadi ilham lahirnya gerakan baru melawan ketimpangan dan ketidakadilan itu. Bagi Al-Qaeda, jihad melawan ketimpangan dan ketidakadilan ialah fardu ain (kewajiban tiap individu). Kalau ada individu yang melawan berjihad, bisa diperangi. Ideologi itu sangat berbahaya karena bisa menerjang siapa saja untuk 'dipaksa' bergabung dengan mereka.  
'Dipaksa' di sini bukan berarti dengan cara militer, melainkan dipaksa dengan mencuci otak sehingga nalarnya sudah mengikuti remote per­gerakan jihad mereka. Cara-cara dilakukan dengan sangat cerdas dan strategis, kadernya juga diikat dengan ideologi sangat ketat sehingga sulit keluar dari gerakannya. Itu sangat kentara dengan berbagai aksi yang dilakukan Al-Qaeda, termasuk dilakukan IS yang mampu menjadikan warga sipil Indonesia bergabung menjadi tentara perangnya.     

Cara cerdas gerakan Al-Qaeda itu menja­di referensi utama kaum jihadis dalam mem­bangun gerakannya. Itulah akar-akar gerakan kaderisasi para jihadis yang menjadi lumbung gerakan terorisme modern di awal abad ke-21. Genealogi kader dan genealogi pemikiran jihad itu menjelma kekuatan besar abad ke-21 sehingga mengubah peta politik dunia dan hubungan dunia internasional. Bukan tidak mungkin, kasus-kasus baru akan lahir dengan wajah yang tidak jauh berbeda, hanya model dan tampilannya saja yang berbeda. Jaringan dan nalarnya tetap sama!

Perdamaian global
Bersama Al-Qaeda dan IS, terorisme global akan semakin mencekam. Ratusan penelitian tidak cukup menjadi referensi sebuah negara untuk membendung gerakan teroris ini. Yang mesti dijalankan bersama seluruh negara dan ormas keagamaan ialah membangun jaringan perdamaian global. Etos perdamai­an tidak cukup hanya dalam seminar dan acara seremonial, tetapi langkah nyata di masyarakat dibarengi dengan pemberdayaan ekonomi kerakyatan.

Gerakan ISIS dan Al-Qaeda tumbuh subur di tengah kekecewaan warga negara terhadap problem ekonomi, termasuk hal pendidikan. Untuk itu, ekonomi warga harus terus diberdayakan melalui berbagai program pemerintah. Sementara itu, lembaga pendidikan dan ormas sosial keagamaan ber­sinergi membangun wajah pemahaman agama yang ramah, sejuk, dan mendamaikan. Di sinilah perdamaian global bisa dinyalakan, bukan sekadar seremonial. Indonesia harus berperan untuk itu karena menurut As'ad Said Ali (2015), Indonesia menjadi target uta­ma ISIS untuk menguasai Asia.