Memacu Budaya Riset

Penulis: Christian Dior Pada: Kamis, 26 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
 Memacu Budaya Riset

MI/SENO

RISET belum menjadi budaya yang mengakar di kalangan dosen atau tenaga pengajar di perguruan tinggi. Hanya sedikit dosen yang benar-benar tertarik menggeluti dunia penelitian dan berkeinginan untuk berkontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan serta bermanfaat bagi masyarakat luas. Kebanyakan hanya sibuk mendidik mahasiswa di ruang-ruang kelas.

Menurut Rektor Universitas Trilogi Asep Saefuddin, budaya meneliti di Indonesia masih sangat lemah. Selain terlihat dari jumlah peneliti yang masih sedikit, hal ini juga dapat diindikasikan dari kecilnya jumlah makalah atau hasil penelitian dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia yang diindeks Scopus.

"Total semua karya ilmiah yang dihasilkan seluruh perguruan tinggi di Indonesia itu jumlahnya hanya sekitar 10.000 yang diindeks Scopus. Padahal, University Sains Malaysia itu sekitar 15.000 karya ilmiahnya yang diindeks Scopus. Cukup satu perguruan tinggi saja kita sudah kalah," kata Asep saat ditemui di Universitas Trilogi, Jakarta, kemarin.

Scopus ialah database yang berisi bibliografi abstrak dan kutipan untuk artikel jurnal ilmiah. Jika sebuah makalah sudah diindeks di dalam Scopus, makalah tersebut otomatis sudah terakreditasi karena memenuhi standar publikasi ilmiah internasional.

Lebih jauh, Asep mengatakan, alasan utama yang kerap menjadi kendala riset ialah minimnya anggaran riset dan kecilnya motivasi dosen dalam meneliti. Namun, menurut Asep, sebuah riset sebenarnya tidak perlu mahal. Yang penting riset harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga bisa bermanfaat.

"Riset kecil-kecilan pun kalau memang bermanfaat pasti akan banyak yang mendukung. Selain itu, dana riset itu sekarang tersebar di mana-mana, baik di instansi pemerintah maupun hibah dari luar negeri. Yang penting didorong ialah bagaimana agar proposal riset itu disetujui dan didanai," katanya.

Lebih lanjut, Asep mengatakan pihak perguruan tinggi juga harus membuat skema agar para dosen dan mahasiswa termotivasi dan akhirnya terbiasa untuk meriset.

"Harus dibangun skemanya dan harus fokus, mau ke arah mana risetnya. Tak kalah penting, perguruan tinggi juga harus membangun hubungan dengan pihak industri dan pemerintah. Kalau hubungan triple helix itu sudah terbangun, dunia riset Indonesia pasti maju," cetusnya.

Hal senada diungkapkan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Herry Suhardiyanto. Meskipun masih ada dosen yang ‘kerjanya’ hanya mengajar di kampus, menurut Herry, pihak perguruan tinggi harus membangun sistem yang memudahkan bagi para pengajar atau peneliti untuk meriset di kampus.

"Tidak semua dosen punya motivasi besar untuk riset. Tapi, jangan sampai yang motivasinya besar jadi frustrasi karena banyak hambatan dalam meriset. Kalau proposal risetnya bagus, kita harus bantu dananya dan permudah administrasinya. Sistemnya harus dibangun untuk mendukung budaya riset," ujar dia.

Terkait dengan dana, Herry mengatakan dana riset yang dialokasikan tidak perlu besar tapi harus berkesinambungan. "Jangan jorjoran di awal, tapi tahun kedua berhenti. Akhirnya risetnya juga berhenti. Harus kontinu," imbuhnya.

Kebutuhan masyarakat
Selain itu, Herry menekankan pentingnya riset yang dilakukan peneliti itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau industri. Karena itu, perguruan tinggi harus menyiapkan agenda riset sehingga penelitian yang dihasilkan nantinya memiliki nilai guna yang besar bagi publik.

"Banyak hasil riset yang hanya mengisi rak perpustakaan karena ada missing link antara riset, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan industri. Harus ketemu antara ketiganya, supaya nanti hasilnya bisa dihilirisasi. Di IPB, misalnya, kita punya sejumlah agenda riset dan semua penelitian diarahkan ke situ," ungkapnya.

Agar bisa bersaing dengan negara-negara lain, Herry mengatakan Indonesia membutuhkan puluhan ribu inovasi baru hasil riset setiap tahunnya. Karena itu, semua pihak, termasuk kalangan industri, harus mendukung kegiatan-kegiatan riset yang digelar kampus dan peneliti di lembaga-lembaga pemerintahan.

Hal ini diamini Dekan Fakultas Teknik Universitas Pancasila (UP) Fauzri Fahimuddin. Menurut Fauzri, harus terbangun pola simbiosis mutualisme antara kalangan peneliti di kampus dan industri. Hasil riset harus bisa menjadi solusi bagi beragam permasalahan yang muncul di dunia industri.

"Link dengan industri itu harus benar-benar intense. Contoh di negara-negara maju di Singapura dan Jepang, misalnya, perguruan-perguruan tinggi di sana pasti punya link dengan kalangan industri. Hubungannya juga erat sekali. Di sana sudah mendarah daging link and match-nya," kata dia.

Fauzri mengatakan, kalangan industri sebenarnya akan diuntungkan jika membuka hubungan dengan pihak kampus di bidang riset. Pengusaha, misalnya, bisa lebih fokus menjalankan usahanya dengan menyerahkan sebagian permasalahan yang mereka hadapi ke kalangan peneliti untuk dicarikan solusinya.

"Industri itu orientasinya market dan pasti permasalahannya sangat dinamis. Mungkin nggak semua masalah bisa diatasi sendiri. Mereka bisa minta bantuan dari perguruan tinggi untuk riset. Dia bisa support ide dan dana. Di sisi lain, riset yang dilakukan peneliti di kampus juga sudah pasti terpakai," tandasnya. (S-1)

[email protected]