Pesta Sastra Miskin Tema

Penulis: MI/IWAN J KURNIAWAN Pada: Minggu, 29 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Pesta Sastra Miskin Tema

MI/Panca Syurkani
Penyair D Zawawi Imron

SAMBIL menyalami penyair D Zawawi Imron, Bei Ta langsung bercakap-cakap tentang perkembangan sastra Asia. Ia nampak senang karena bisa mengenal lebih dekat penyair Indonesia lainnya.

Tutur sapanya sangat ramah dengan penguasaan bahasa Inggris yang aktif. Bei Ta datang ke Jakarta untuk menghadiri gelaran ASEAN Literary Festival 2015, malam itu. "Banyak karya penyair Indonesia, tapi yang saya baca hanya karya-karya yang diterjemahkan. Untung saya ke sini dan bisa mengenal banyak penyair di sini," ujar Bei Ta di sela-sela acara yang dilangsungkan di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 15-22 Maret lalu.

Bei Ta, nama pena Xu Weifeng, ialah profesor dari National Museum of Modern Chinese Literature. Ia juga merupakan penyair, kritikus, dan penerjemah andal di Tiongkok. Kehadirannya di ajang literasi kedua itu membuktikan sastra mampu memersatukan penyair lintas negara. "Sastra di Tiongkok berkembang pesat hingga negara lainnya. Saya kira sastra Indonesia perlu juga untuk ekspansi," tandasnya.

Pada ajang ASEAN Literary Festival kali ini, baik sastrawan, pemerhati sastra, maupun pekerja sastra berkumpul untuk berdiskusi dan membacakan puisi lewat tema Questions of conscience. Dari dalam negeri, sastrawan yang hadir, antara lain Ahmad Tohari, Clara NG, Joko Pinurbo, Jose Rizal Manua, Saut Situmorang, dan Sori Siregar. Sementara itu, dari luar negeri, antara lain Anne Ostby (Norwegia), Idriss Bouskine (Aljazair), Michelle Aung Thin, dan Shin Young-duk (Korea).

Ada hal unik di tengah perhelatan itu. Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri pun nampak hadir di kawasan TIM. Ia mengaku mendapatkan undangan (bukan sebagai peserta). Namun, Tardji, sapaan akrab Sutardji, memutuskan untuk tidak masuk ke lokasi acara.

Ia memilih menghabiskan segelas kopi dan gorengan di warung tenda di kompleks TIM. "Saya hanya janjian saja dengan Zawawi. Saya tidak ke sana (ke dalam). Kurang menarik karena penonton pun sepi," cetus Tardji seraya menyeruput kopi hangat.

Tidak hanya Tardji. Ada penyair lainnya yang juga memutuskan untuk memilih menghabiskan kopi sambil berdiskusi ringan. Apalagi udara malam juga mulai mendung. Sejam menunggu, akhirnya Zawawi bersua dengan Tarji. Keduanya nampak bersalaman akrab.

ASEAN Literary Festival kali ini memang tampak sepi. Tidak seperti gelaran perdana pada 2014 lalu. Panggung di tahun sebelumnya sengaja dibuat panitia di Plaza TIM. Kini, hanya di sekitar Teater Jakarta dan panggung 'darurat' di dekat sebuah pohon beringin yang ada di sebelah teater tersebut.

Terlepas sepinya pengunjung, penyajian program sebetulnya cukup baik. Namun, kehadiran musikus Signmark alias Marko Vouriheimo (Finlandia) cukup membuat acara sastra itu tidak sesakral awal pelaksanaan festival itu. Suguhan Signmark dan teman-temannya dengan suasana hip-hop dan rap memberikan suasana miris. ASEAN Literary Festival seakan kehilangan idealismenya. "Saya pun tak begitu kenal penyair-penyair luar yang ada di situ," cetus Tardji.

Sepi penonton
Pada suatu sesi tertentu, Jose, misalnya, hadir untuk memberikan workshop tentang dramatic reading. Ia hadir bersama Low Kok Wai, dosen teater dari Universitas Brunai Darussalam (UBD). Jose nampak memberikan kajian dan berbagai pengalaman sebagai seorang pembaca puisi.

Kehadiran ASEAN Literary Festival kali ini memang nampak sepi penonton. Tidak begitu segeliat saat gelaran perdana. Program-program pun masih berkutat pada tema umum. Tidak ada letupan dan ledakan yang memberikan dampak pada masyarakat sastra. Para panitia pun mayoritas akademisi, cerpenis, dan penyair yang tak lain kini sebagai event organizer.

Pada tahun sebelumnya, panitia mampu menggaet pengunjung banyak karena memasukan isu hak asasi manusia (HAM). Aktivis dan penyair Widji Thukul (alm) pun dijadikan sebagai 'maskot' sehingga mengundang perhatian aktivis. Bahkan, Fajar Merah, putra Widji Thukul, pun hadir untuk mengisi acara setahun silam.

Meski menuai kritikan, ASEAN Literary Festival tetap berlangsung alot. Beberapa program pembacaan puisi dan diskusi pun juga dilangsungkan di Taman Menteng dan beberapa kampus di Jakarta. Ajang itu memang bukan bagian dari program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dengan begitu, pihak DKJ pun enggan untuk membantu. "Sejak awal, mereka tidak meminta bantuan. Itu memang bukan program kami," cetus Ketua DKJ, Irawan Karseno.

Abdul Khalik, salah satu panitia inti ASEAN Literary Festival, menampik semua hal negatif. Baginya, program pada tahun ini sudah sinkron dan berlangsung sukses. Apalagi, kehadiran festival itu untuk memajukan dunia sastra Indonesia. "Kami konsisten dengan menghadirkan program yang relevan," pungkas Abdul yang juga pendiri sebuah yayasan itu. (M-6)