Perlu Kebijakan Struktural Antisipasi Pelemahan Rupiah

Penulis: RO/Dro/S-25 Pada: Senin, 30 Mar 2015, 00:00 WIB DPR
Perlu Kebijakan Struktural Antisipasi Pelemahan Rupiah

DOK DPD

NILAI tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat lalu (27/3) kembali melemah di angka Rp13.064 per dolar Amerika Serikat. Pelemahan nilai rupiah itu telah diprediksi oleh Komite IV DPD RI jauh hari sebelumnya.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI 2014-2019 Ajiep Padindang menyatakan, seharusnya hal ini bisa diantisipasi oleh Bank Indonesia beserta pemerintah dengan sejumlah regulasi sifatnya preventif.

Karena itu, DPD meminta BI untuk melakukan pengawasan lebih ketat lagi terhadap para pebisnis dan pengusaha.

Sementara, pemerintah diharapkan dapat mendorong dan menarik para investor agar dapat menanamkan modalnya di Indonesia.

“Pada rapat-rapat sebelumnya, Komite IV telah melakukan kajian-kajian dengan berbagai pakar dan juga BI serta telah memberikan banyak rekomendasi terhadap pemerintah. Ini jadi satu pertanyaan mengapa?

Minggu depan sudah kami agendakan berbicara serius dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan Gubernur BI Agus Martowardojo,” kata Ajiep saat Diskusi Bincang senator 2015 bertema Gejolak dan Masa Depan Rupiah di Jakarta, Minggu (29/3).

Hal senada dikemukakan oleh ekonom Bank Central Asia David Sumual. Ia mengingatkan, cadangan devisa akan terus tergerus bila intervensi pemerintah terhadap pelemahan nilai rupiah terhadap dolar AS dilakukan terlalu dalam. Karena itu, pemerintah diminta untuk fokus pada kebijakan struktural dan konsisten untuk memperbaiki posisi nilai tukar rupiah.

“Bila kita melakukan intervensi terlalu besar maka cadangan devisa kita juga akan tergerus dan pada nantinya di satu titik tertentu akan mempengaruhi dari confidence dari pasar dan ini yang sangat berbahaya untuk rupiah nantinya,” papar David.

Dikuasai hot money


Sepanjang Januari-Maret 2015, aliran dana asing yang masuk ke Indonesia cukup besar, tercatat net buy di bursa hingga  Rp4 triliun. Meski demikian, David memandang, hal itu tidak dapat menahan laju dari pelemahan rupiah dan bahkan cenderung dapat memberikan kehawatiran ke depan.

“Ini yang membuat kita khawatir sebab dana yang masuk sebagian besar adalah di portofolio atau hot money padahal yang kita harapkan yang masuk juga cold moneynya. Seperti tahun lalu US$ 25 miliar yang masuk itu hot money sedangkan cold moneynya itu netto hanya US$ 15 miliar dalam bentuk investasi langsung. Ini yang harus di undang masuk sebab lebih berjangka panjang,” papar David.

Salah satu usulan David ialah kebijakan pemerintah mengevaluasi kebijakan yang ada dan mengeluarkan sejumlah terobosan untuk memperbaikinya.

“Pemerintah mungkin perlu memikirkan bagaimana untuk menarik dana kita di luar negeri yang katanya hingga US$250 miliar atau bagaimana menahan dana ekspor kita agar tidak hanya tercatat dan di parkir diluar negeri. Mungkin perlu revisi UU Lalu Lintas Devisa yang saat ini sangat liberal,” papar David.

Dalam kesempatan yang sama Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Natsir Mansyur mengungkapkan nilai rupiah saat ini merupakan cerminan dari ketergantungan yang tinggi Indonesia terhadap US$. Dirinya menyoroti 4 faktor  fundamental yang perekonomian harus segera diperbaiki untuk memperbaiki buruknya neraca perdagangan Indonesia.

Keempat itu ialah impor bahan baku industri yang masih impor hingga 75%, impor migas hingga 70%, ketergantungan tinggi di sektor pangan, dan ketergantungan industri jasa terutama sektor penerbangan.

Natsir menambahkan, konsistensi penggunaan rupiah dalam transaksi bisnis di wilayah Indonesia juga membutuhkan sanksi supaya lebih efektif. (RO/Dro/S-25)