Teriakan Alat Komunikasi Jarak Jauh

Penulis: Sri Utami Pada: Senin, 06 Apr 2015, 00:00 WIB DPR
Teriakan Alat Komunikasi Jarak Jauh

MI/Arya Manggala

SEUSAI dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hamba di Kecamatan Muaro Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi, mobil yang membawa rombongan Media Indonesia dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, lembaga mandiri yang fokus terhadap kelangsungan hidup suku Anak Dalam atau orang rimba melaju membelah hutan menuju Rombong
Marituha di bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas
(TNBD), Kabupaten Batanghari, Jambi.

Dua anak orang rimba, Meruge dan Besiap Bungo, ikut untuk bisa pulang ke komunitas mereka.

Dari Kecamatan Muaro Bulian menuju Batanghari, tepatnya pedalaman hutan, waktu tempuh normal hanya 3 jam perjalanan.

Namun, nyatanya kami harus bermalam di tengah hutan karena air sungai meluap setinggi lebih dari 1 meter.

Belum lagi, jalan berbukit dan terjal diperburuk kondisi musim penghujan. Walhasil, kendaraan yang ditumpangi kerap terjerat tanah merah basah yang menutupi ban.

Di setiap jalan yang tertutupi oleh genangan air atau lumpur tanah merah, secara spontan Meruge yang masih berusia sekitar 6 tahun langsung loncat dari bak mobil untuk memeriksa kedalaman air dan kondisi tanah.

'Wui, dak apo. Mikay bisa lewat (tidak apa-apa, kalian bisa lewat),'' teriak Meruge.

Setelah mendengar teriakan Meruge yang seakan menjadi navigator, mobil tidak ragu melaju.

Meruge tidak terlihat baru sembuh dari perawatan di rumah sakit. Kapas dan perban yang masih menempel di lengan tangan kanannya tidak dihiraukan. Dia terus berteriak dan tertawa dari bak terbuka di bagian belakang mobil.

Saat tiba di kelompok Marituha, mata orang rimba memandangi kami. Ada sekitar 50 perempuan orang rimba atau biasa dipanggil betina atau induk, dan 20 laki-laki atau lanang. Mereka baru saja dua hari selesai melangun (nomaden). Sekelompok pemuda sibuk memindahkan beras bantuan dari pemerintah.

''Akeh belum nak bekebon. Bantuan masih banyak bingong akeh nak diampoi (saya belum berkebun, bantuan masih banyak bingung harus diapakan),'' ujar pemuda rimba Nekaram.

Jarak pondok kayu yang menjadi tempat kami tinggal dengan permukiman orang rimba hanya sekitar 500 meter. Teriakan anak orang rimba sahut-menyahut memecah kesunyian belantara hutan.

Menurut pendamping dari KKI Warsi, Theo, teriakan tersebut biasa dilakukan terlebih untuk berkomunikasi jarak jauh.

"Itu tanda saja. Bagi mereka itu komunikasi biasa seperti orang kebanyakan. Ibaratnya kita pakai telepon seluler (ponsel), mereka cukup teriak saja," jelasnya.(SU/T-2)