Pelabuhan Tuban Strategis sejak Masa Airlangga

Penulis: MI Pada: Rabu, 22 Apr 2015, 00:00 WIB DPR
Pelabuhan Tuban Strategis sejak Masa Airlangga

Antara/Aguk Sudarmojo

KEBERADAAN pembuat kapal motor di sepanjang pantura ini tak bisa dilepaskan dari sejarah di sekitarnya. Yakni, pantai utara dengan segala potensi strategisnya. Lazim diketahui, kawasan pantura Jawa sejak abad ke-11 menjadi lalu lintas perdagangan rempah-rempah dan barang berharga lainnya antarbenua.

Saat itu, Kabupaten Tuban di bawah wilayah kekuasaan Kerajaan Kahuripan dengan rajanya Airlangga. Tidak banyak referensi dan sumber sejarah yang bisa ditemukan untuk mengungkap keberadaan pelabuhan antarnegara di kota tua Tuban. Sama halnya kota-kota lain di Jawa, kajian sejarah yang menyangkut Tuban sangat sulit didapatkan.

R Soeparmo dalam bukunya berjudul Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban menyebutkan pada masa Airlangga, aliran Sungai Brantas diperbaiki sehingga perahu-perahu bisa berlabuh di Hujung Galuh, saat ini disebut Surabaya. Pelabuhan Hujung Galuh menjadi pelabuhan utama untuk perniagaan antarpulau, maka pelabuhan antarnegara ditempatkan di Kambang Putih dekat dengan Tuban sekarang ini.

Untuk memajukan pelabuhan, Airlangga memajukan perniagaan dan membebaskan beberapa jenis pajak. Sejumlah prasasti Airlangga yang ditemukan di sekitar Babat, Ngimbang (sekarang keduanya wilayah Kabupaten Lamongan), dan Ploso (kawasan Kabupaten Jombang) menunjukkan bahwa justru daerah melalui jalan dari Tuban ke Babat menuju Jombang menjadi perhatian yang besar dari Airlangga.

Dalam sumber catatan lain, buku terbitan pemkab setempat, Tuban Bumi Wali The Spirit of Harmony disebutkan, dahulu Tuban bernama Kambang Putih. Sejak abad ke-11 hingga abad ke-15 dalam berita para penulis Tiongkok, Tuban disebut sebagai salah satu kota pelabuhan utama Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya.

Keberadaan pantura yang cukup strategis di sektor kelautan juga terbaca dalam potensi tangkapan ikan laut di Kabupaten Tuban dan Lamongan. Angkanya mencapai 127 ribu ton per tahun. Hal itu pula yang menjadikan perikanan menjadi tulang punggung dua kawasan tersebut.

Saat ini jumlah penduduk dua kabupaten yang mencapai lebih dari 70 ribu jiwa menggantungkan hidup dari sektor perikanan. Upaya pemerintah setempat untuk mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan juga diwujudkan dengan pembangunan sarana infrastruktur. Saat ini sebanyak tujuh tempat pelelangan sekaligus pendaratan ikan disiapkan.

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Lamongan Suyatmoko mengatakan penarikan retribusi sebesar 5% dari tempat pelelangan ikan (TPI) di Lamongan bukan sekadar sebagai sumber pemasukan pendapatan asli daerah (PAD). Namun, di Lamongan, retribusi itu juga berperan dalam menjaga kestabilan harga.

"Adanya retribusi ini membuat harga ikan tangkap di Lamongan tidak kocar-kacir sehingga menjadi barometer harga di Jawa Timur," ungkap Suyatmoko. Selain itu, imbuh dia, retribusi TPI tersebut juga berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pasalnya, 50% dari nilai retribusi yang ditarik itu kembali ke nelayan untuk dimanfaatkan melalui koperasi nelayan.

Dia juga menyebutkan penanganan retribusi tersebut terkait dengan jasa pelelangan ikan sehingga pemerintah daerah memberikan berbagai fasilitas untuk lima TPI yang ada, yakni TPI Brondong, Kranji, Labuhan, Lohgung, dan TPI Weru.

Fasilitas yang diberikan di antaranya bantuan alat timbangan, break water, jetty, dan tambat labuh. "Investor cold storage juga diajak kerja sama agar ikan untuk produksi mereka diambil melalui TPI yang ada," kata dia.

Lamongan juga mengupayakan retribusi potensi perikanan berdasarkan Perda No 19 Tahun 2010 tentang TPI. Pelaksanaan teknisnya diatur dalam Perbup Nomor 4 Tahun 2003. Perda tersebut mengatur pengenaan retribusi sebesar 5% dari transaksi penjualan. Rinciannya 2,5% dikenakan kepada penjual dan 2,5% lainnya dikenakan kepada pembeli. Sementara itu, kontribusi TPI tahun ini ditargetkan sebesar Rp384,5 juta. (YK/N-4)