Cecak Mengendus si Manis

Penulis: MI/Tesa Oktiana Surbakti Pada: Rabu, 22 Apr 2015, 00:00 WIB DPR
Cecak Mengendus si Manis
PERSOALAN rembesan gula rafinasi yang berlangsung menahun tidak bisa dianggap sebagai angin lalu. Apalagi ketika surplus impor gula kristal rafinasi (GKR) kemudian memukul petani, berikut pabrik produksi gula kristal putih (GKP).

Catatan Kementerian Perdagangan, terjadi rembesan 119 ribu ton GKR ke pasar pada 2013 dan meningkat menjadi 216 ribu ton pada tahun lalu. Alhasil, suplai gula berlebih. Bahkan, terjadi tumpukan 1,4 juta ton GKP di gudang.

Karut-marut persoalan gula membuat aparat penegak hukum, seperti Komisi Pembe-rantasan Korupsi (KPK), urun suara. "KPK sedang petakan permasalahan dari sisi hulu dan hilir sehingga penyimpangan bisa diketahui dari awal, apa saja faktor-faktor yang menyimpang. Entah dari rembesan rafinasi atau tata kelola impor yang tidak baik," tutur Wakil Ketua KPK Zulkarnain di sela diskusi Gula Kristal Rafinasi (GKR) Merembes, Gula Kristal Putih (GKP) Tutup, di Jakarta, Senin (20/4).

KPK 'mengendus' persoalan industri gula nasional karena cukup banyak laporan masyarakat yang menduga maraknya ketidakberesan. Sepanjang 2004-2015, ada 185 laporan khusus gula yang mencakup penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan aset, mark up, penyalahgunaan importasi gula, dan sebagainya.

Lemahnya pengawasan pada kebijakan tata niaga impor serta peredaran gula rafinasi memberi peluang rent seeking yang mendorong bocornya gula rafinasi ke pasar tradisional. Kemudian, ada pula pihak yang sengaja mengajukan impor gula mentah untuk kemudian idle capacity sehingga merugikan petani.

Di samping lemahnya pengawasan atas tata niaga impor gula, lanjut Zulkarnain, KPK menengarai persoalan pada industri tidak terlepas dari kegagalan swasembada gula. Berdasarkan data Bappenas, kata dia, selama 2008-2012, produksi gula nasional turun 1,73%. Sebaliknya, impor di masa itu naik 202,1%.

Walakin, karena belum ada payung hukum terkait dengan kebijakan pergulaan nasional di ranah KPK, fokus lembaga antirasywah itu kini lebih pada upaya pencegahan. "Meski kita fokus pencegahan, tidak hanya permukaan, karena banyak masalah pangan yang mengakar pada ketidaktepatan data, informasi simpang siur," tandas Zulkarnain.

Analis Kebijakan Bidang Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Polri Komisaris Besar Kris Erlangga memastikan kesiapan pihaknya menindak pelaku peredaran GKR yang melanggar hukum. Dari verifikasi Polri di 2014, ada indikasi gula rafinasi yang tidak sesuai peruntukan mencapai 199,5 ribu ton.

Setop izin
Saat berbicara pihak mana yang paling terpukul dengan rembesan gula rafinasi ke pasar tradisional, petani tebu yang paling merugi. Harga produksi gula petani terbanting dengan keberadaan gula rafinasi.

Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta pemerintah membatasi izin pabrik gula baru. Izin itu diduga hanya kedok untuk melakukan impor gula mentah yang kemudian dijual ke publik. "Ada 11 pabrik gula rafinasi berbahan baku raw sugar impor. Harus diverifikasi, mana yang patut dipertahankan atau harus dibubarkan karena bermain," cetus Ketua Umum APTRI Arum Sabil dalam kesempatan sama.

Ia berharap pemerintah mendorong revitalisasi tanaman tebu dan pabrik gula yang berbasis bahan baku dari tebu petani. Arum yakin kebutuhan gula nasional mampu dipenuhi dari dalam negeri. "Di lajur industri, izin impor gula rafinasi itu sudah melampaui kapasitas terpasang. Bayangkan, izin impor GKR 3,6 juta ton, sementara kebutuhan industri makanan minuman yang mayoritas memakai itu hanya 2,3 juta ton. Makanya bisa meluber ke pasar tradisional," imbuh Arum. (E-2)