Asia di Ambang Defisit Energi

Penulis: MI/IQBAL MUSYAFFA Pada: Rabu, 22 Apr 2015, 00:00 WIB DPR
Asia di Ambang Defisit Energi
ASIA terancam menjadi importir neto energi dalam beberapa dekade ke depan, dengan produksi energi yang jauh di bawah kebutuhan. Para pemangku kepentingan diminta memastikan ketahanan energi Asia dengan kebijakan jangka panjang untuk menghindari terwujudnya ancaman tersebut.

Demikian antara lain masalah yang mengemuka dalam salah satu sesi panel World Economic Forum on East Asia (WEFEA), di hari terakhir konferensi, kemarin, di Jakarta.

Kebutuhan energi Asia diprediksi akan terus menggembung seiring dengan perkembangan Asia sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat di dunia.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengakui Indonesia mulai dihadapkan pada persoalan kekurangan pasokan energi, khususnya yang bersumber dari minyak. Untuk itu, kebutuhan atas kebijakan diversifikasi energi yang lebih banyak memasukkan energi terbarukan tidak terelakkan.

"Ya, produksi kami menurun di sektor bahan bakar minyak (BBM). Namun, sesungguhnya Indonesia memiliki banyak pilihan sumber energi terbarukan. Itu arah baru yang harus kami tetapkan untuk masa depan," papar Sudirman.

Harga minyak global yang cenderung rendah selama beberapa waktu belakangan membuat pasokan berlebih. Kendati begitu, Presiden Chevron Asia Pacific Exploration and Production Company Melody Boone Meyer mengatakan volatilitas harga merupakan hal biasa di industri energi. Dalam jangka panjang, hara dan permintaan bakal terus naik.

Senada, Presiden dan CEO of Sapura Kencana Petroleum, Malaysia, Shahril Shamsuddin, menambahkan, permintaan terhadap migas akan terus tumbuh. Dalam jangka waktu 2-3 tahun, harga akan kembali mencapai level optimal.

Banyak persoalan
Di kesempatan terpisah, Ketua International Institute for Clean Energy and Climate Change (IICECC) Luluk Sumiarso mengingatkan masalah penggunaan energi terbarukan tidak hanya seputar teknologi. Persoalan lain yang perlu diperhatikan ialah distribusi dan peran pemerintah.

"Bagaimana akses energi atau bagaimana juga pemanfaatannya," ujar Luluk dalam diskusi bertajuk Making the Impossible Possible: Is Future Energy the Key? di Jakarta, kemarin.

Kesadaran dari perusahaan juga penting untuk mendukung energi terbarukan. Seperti salah satunya perusahaan minyak kelapa sawit yang menurut Luluk sudah berkomitmen untuk memberi batasan memotong pohon kelapa sawit. Perusahaan juga memberi batasan 35 ton per hektare untuk menjaga keberlangsungan hutan sawit yang produknya juga dipakai untuk bahan bakar nabati (BBN).

Hal itu diamini Direktur Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), Agus Purnomo. Ia menegaskan komitmen pelaku usaha untuk mendukung pemanfaatan BBN.

Managing Director of ABB South East Asia Johan de Villiers mengungkapkan permintaan energi global akan naik 45% pada 2035. Di Asia, kebutuhan bahkan akan naik dua kali lipat. (Ire/E-1)