Pentingnya Buku Sebagai Salah Satu Perangkat Literasi
RANCANGAN Undang-Undang Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (RUU SSKCKR) menjadi salah satu regulasi yang cukup penting bagi masyarakat, terutama untuk penulis, penerbit, dan stakeholders terkait dalam hal perlindungan karya cipta. Oleh karena itu, dalam Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR RI ke Kalimantan Timur, Kamis (20/9/2018), banyak masukan-masukan dari stakeholder terkait dan masyarakat yang dapat dijadikan pertimbangan untuk membahas RUU tersebut, mengingat buku menjadi salah satu perangkat yang penting bagi literasi, terutama bagi generasi muda.
“RUU SSKCKR diharapkan dapat dijadikan perlindungan bagi penulis, penerbit, dan stakeholder yang lain dalam hal perbukuan. Diharapkan juga hasil karya mereka itu bisa tersimpan dengan baik, misalnya ketika terjadi bencana alam dan lain sebagainya, karena buku merupakan peninggalan budaya yang luar biasa dan perlu kita lestarikan,” jelas Anggota Komisi X DPR RI Lathifah Shohib di Perpustakaan Kota Balikpapan, Kaltim, usai pertemuan dengan sejumlah stakeholder terkait pembahasan RUU SSKCKR.
Selain itu, membangun literasi sekolah juga merupakan hal yang perlu ditingkatkan, mengingat saat ini kemampuan literasi sangat diperlukan agar tidak terpengaruh begitu saja terhadap bacaan atau hal-hal yang diterima. Oleh karena itu, keberadaan perpustakaan di sekolah-sekolah menjadi hal yang penting. Akan tetapi, masih banyak sekolah-sekolah yang belum memiliki perpustakaan, seperti di Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat, yang terdata memiliki 11.746 SD namun hanya 6.410 SD yang memiliki perpustakaan (data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).
“Faktanya di lapangan seperti itu. Ada peraturan bahwa sekolah diharapkan menyisihkan 5 persen anggarannya untuk perpustakaan, tetapi faktanya di lapangan, sekolah-sekolah swasta masih mementingkan honor guru dan hal-hal yang dianggap penting lainnya, sehingga perpustakaan belum menjadi prioritas,” jelas Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) itu.
“Maka dari itu, pemerintah harus turun tangan. Tidak bisa kita sepenuhnya menyerahkan kepada sekolah. Kalau sekolah negeri, memang sudah ada aturan dari negara, sehingga mereka dapat menyisihkan anggarannya untuk koleksi buku dan lain sebagainya. Tapi berbeda dengan sekolah swasta, terutama yang lokasinya berada di perbatasan atau pinggiran, yang kondisinya masih memprihatinkan.,” papar Lathifah.
Komisi X DPR RI berharap pemerintah dapat langsung turun tangan. Apalagi saat ini sudah ada UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, dan nanti akan segera dibuat peraturan turunannya, agar pemerintah dapat memiliki payung hukum dalam menganggarkan pengadaan buku di perpustakaan sekolah-sekolah.
“Ada 3M yang menjadi jargon dari UU Sistem Perbukuan, yaitu bukunya bermutu, harganya murah, juga merata. Sehingga tidak terjadi lagi permasalahan seperti tidak adanya perpustakaan atau buku di sekolah seperti data yang disampaikan oleh Kemendikbud,” jelas anggota Komisi X DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur V itu.
Selain kesediaan sarana dan prasarana, seperti keberadaan perpustakaan dan buku, hal penting lainnya adalah bagaimana sekolah dapat mempersiapkan strategi agar murid-murid di sekolah dapat meningkatkan minat baca mereka. “Di beberapa sekolah saya lihat sudah ada kenaikan minat baca siswa, tetapi sekolah juga dituntut untuk harus menyiapkan varian buku agar tidak menimbulkan rasa bosan kepada siswa,” tutup Lathifah. (RO/OL-7)