Kasus Audrey, Komisi VIII: Sudah Terlambat untuk Kata Damai

Penulis: Dero Iqbal Mahendra Pada: Rabu, 10 Apr 2019, 18:49 WIB DPR
 Kasus Audrey, Komisi VIII: Sudah Terlambat untuk Kata Damai

Ist.
Audrey.

ANGGOTA Komisi VIII DPR RI, Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo, menilai kasus yang menimpa Audrey, 14, siswa SMP di Pontianak tersebut tidak boleh berakhir hanya dengan jalur damai. Menurutnya, kasus tersebut harus diusut hingga masuk ke ranah persidangan guna menjadi pelajaran bagi seluruh anak di Indonesia.

Rahayu mengungkapkan bahwa dirinya betul-betul merasa terganggu dengan kejadian ini, sebab yang melakukan pengeroyokan adalah 12 siswi (SMA) kepada siswi lainnya (SMP).

"Itu bukan bullying. Itu pengeroyokan. Itu kekerasan dan kalau kita bicara tentang keadilan seharusnya kita tidak bicara damai. Saya rasa sudah terlambat untuk kata damai," tegas Rahayu di Jakarta, Rabu (10/4).

Rahayu menegaskan, bahwa kasus ini berbeda dengan bullying. Menurutnya, kasus ini merupakan pengeroyokan yang terencana dan bukan spontanitas emosional yang terjadi. Apa yang para pelaku lakukan, menurut Rahayu, sangat sadis seperti ditendang, dipukul, diinjak, bahkan laporannya juga terjadi kekerasan seksual.

Rahayu menegaskan, pihak berwenang harus memberikan pesan yang jelas bahwa kekerasan seperti ini tidak dapat ditolerir. Meski pelaku masih anak-anak namun proses hukum harus tetap berjalan sesuai dengan koridor hukum anak yang ada.

Anggota Komisi VIII DPR RI ini menegaskan perlu dilakukan evaluasi psikis kepada seluruh pelaku, khususnya bagi tiga orang yang terlibat langsung melakukan kekerasan. Ia pun mengomentari tentang atitude dari pelaku yang seolah tidak menunjukkan rasa bersalah atas perbuatannya.

"Kalau mereka tidak ada rasa malu, tidak ada rasa bersalah, saya yakin itu betul-betul harus dievaluasi mentalnya seperti apa. Proses peradilan dengan hukuman dan rehabilitasi dapat menjadi pesan bagi semua anak di Indonesia bahwa kekerasan seperti itu tidak dianggap enteng," tutur Rahayu.

Lebih lanjut, Rahayu menilai kejadian ini dapat terjadi karena banyak faktor, mulai dari ketahanan keluarga, pendidikan formal dan nonformal, nilai dan norma seperti apa yang diajarkan hingga seperti apa kehadiran orang tua. Perlu ada riset terkait sistem pendidikan di Indonesia mengapa terjadi seperti itu.

Oleh sebab itu, evaluasi psikis pelaku menjadi penting, sebab dalam kasus ini tidak bisa langsung mengambil kesimpulan bahwa orang tuanya yang bersalah. Rahayu mengatakan, kasus ini mengingatkan bahwa pendidikan karakter anak di rumah menjadi penting dan kehadiran orang tua dalam kehidupan anak menjadi esensial dan tidak bisa dilimpahkan begitu saja ke institusi sekolah formal.

Meski begitu, dirinya tidak setuju dengan cara menghukum yang mencabut hak asasi anak untuk pendidikan. Sebab, menurutnya hal tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan dan hanya akan menciptakan penjahat dimasa mendatang.

"Mereka saat ini justru butuh pendudukan. Jangan dikeluarkan dari sekolah kecuali mereka masuk fasilitas rehabilitasi anak nakal yang tentunya mereka akan mendapatkan pendidikan di sana. Tujuannya agar mereka tidak lagi melakukan perbuatannya dan jangan sampai mereka tidak bisa bekerja dan justru membuat penjahat lain," pungkas Rahayu. (OL-6)