Ilusi Perubahan Pidana Mati di RKUHP

Penulis: M Afif Abdul Qoyim, Direktur LBH Masyarakat (LBHM)  Aisya Humaida, pengacara publik LBHM Pada: Jumat, 19 Agu 2022, 15:45 WIB DPR
Ilusi Perubahan Pidana Mati di RKUHP

MI/M Irfan
Gedung DPR/MPR RI

PIDANA mati dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 4 Juli 2022 dirumuskan sebagai pidana yang bersifat khusus (Pasal 64 huruf c), dengan menempatkan pidana mati sebagai bentuk hukuman yang diancamkan secara alternatif (Pasal 67). 

Kelebihan formulasi RKUHP dengan sifatnya yang khusus, dan alternatif yang berbeda dari pidana mati dalam KUHP yaitu pidana mati di RKUHP walau diterapkan tapi disandingkan dengan pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun (penjelasan Pasal 67). Formulasi ini punya peluang perubahan pidana mati menjadi non pidana mati. Skenario perubahan pidana mati di RKUHP ini seolah kerja progresif politik legislasi. Padahal muatannya masih sama mengandung pidana mati warisan kolonial yang seharusnya pidana mati tidak diadopsi sama sekali dalam RKUHP sebagai upaya dekolonisasi.

Berdasarkan sistematikanya, setidaknya ditemukan lima problem yang bermasalah. Pertama, Pasal 100 ayat (1) memberikan kekhususan kepada terpidana mati, yakni masa percobaan selama 10 tahun. Jika selama masa percobaan terpidana menunjukkan sikap yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup sebagaimana Pasal 100 ayat (4). 

Formulasi tersebut adalah terobosan untuk memberikan kepastian hukum pada terpidana mati. Namun tenggat waktu percobaan 10 tahun dihitung setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Pasal 100 ayat (3). Skema ini mengabaikan fakta terpidana mati menjalani penahanan selama menunggu putusan berkekuatan hukum tetap. Meskipun penahanan merupakan konsekuensi yang dijalani, namun skema ini bertentangan dengan konsep pemidanaan yang selalu mengurangkan durasi hukuman penjara dengan masa penahanan. 

Selain itu argometer 10 tahun yang baru berjalan ketika putusan berkekuatan hukum tetap, mengabaikan peran pemasyarakatan yang seketika menghuni rutan/lapas, terpidana mati sebenarnya sedang mengikuti program pemasyarakatan. Yang utama tidak mengkalkulasikan hukuman lain yang diderita oleh terpidana mati, di antaranya kesehatan mental dan dampak-dampak psikologis yang dialami terpidana yang realitanya kerap diabaikan. Penghukuman berlapis seperti ini merendahkan harkat dan martabat terpidana mati yang menerima penderitaan bertubi-tubi, tapi tidak diperhitungkan oleh RKUHP. 

Kedua, penentuan percobaan pidana mati harus tercantum dalam putusan pengadilan sesuai rumusan Pasal 100 ayat (2). Skenario percobaan yang menggantungkan pada putusan hakim memikul konsekuensi tidak semua kasus pidana mati memiliki peluang atas percobaan 10 tahun. Pensyaratan ini menunjukkan kontradiksi pidana mati sebagai hukuman alternatif dan pada sisi lain rumusan ini cenderung mempertahankan hukuman berbasis balas dendam disaat hukuman percobaan tidak diterapkan hakim. 

Ketiga, keputusan untuk mengubah pidana mati menjadi seumur hidup dilakukan melalui keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung [Pasal 100 ayat (4)], tidak ada beda dengan skema grasi. Metode pengubahan hukuman yang bergantung pada Presiden ini sering kali dibungkus dalam narasi politik, bukan objektifitas kasusnya. Terlebih pada tindak pidana yang mudah dipolitisasi, seperti narkotika yang bisa mengaburkan fakta dan bukti.

Keempat, rumusan Pasal 99 ayat 4 terkait pelaksanaan pidana mati terhadap orang yang sakit jiwa ditunda hingga sembuh. Durasi sampai sembuh tidak bisa diprediksikan berakhir kapan. Sehingga bisa saja penundaan pelaksanaan pidana mati bagi yang mengalami kesehatan jiwa justru melebihi pidana percobaan 10 tahun.  Rumusan ini justru tidak sejalan dengan konsep restoratif dan evaluatif yang kerap diusung dalam hukum pidana Indonesia. 

Lalu, adakah ketentuan lain dalam menghormati hak hidup di RKHUP? Mengacu pada Pasal 101, terpidana mati yang grasinya ditolak dapat mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup, terhitung 10 tahun sejak grasi ditolak dengan catatan terpidana mati tidak melarikan diri. Rumusan tersebut menjadi problem kelima. Sebab penghitungan 10 tahun setelah grasi ditolak membuat terpidana mati menjalani penghukuman berlebih yakni pemenjaraan yang tidak terhitung sebelum jawaban grasi. 

Ketentuan ini sangat memungkinkan terpidana mati menjalani pemenjaraan melebihi ketentuan pidana mati percobaan 10 tahun, dan pada titik ekstrim melampaui penjara paling lama 20 tahun. Skenario dalam pasal 101 seolah mendesak terpidana mati untuk mengambil upaya grasi dan memberikan lampu hijau eksekusi mati bagi yang ditolak grasinya sebagaimana Pasal 99 ayat (1). Rumusan tersebut memposisikan pidana mati lagi-lagi bukan sebagai ancaman alternatif non pidana pokok. 

Rekomendasi

Formulasi Pasal 99 ayat (4) seharusnya menyesuaikan dengan durasi 10 tahun percobaan bukan ditunda sampai sembuh. Meskipun dalam perawatan medis atau psikologis, treatment tersebut dihitung sebagai durasi percobaan. 

Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 101 seharusnya menghitung masa 10 tahun percobaan sejak hari pertama penahanan terpidana. Masa percobaan ini juga seharusnya diberikan otomatis, tanpa bergantung ada atau tidaknya dalam putusan pengadilan. Oleh karena itu ketentuan Pasal 100 ayat (2) seharusnya dihapus.

Pengubahan penghukuman dari pidana mati menjadi seumur hidup juga otomatis diberikan kepada terpidana yang grasinya ditolak, tanpa perlu Keputusan Presiden seperti dalam ketentuan Pasal 101. Pengalihan pidana mati menjadi seumur hidup harus menjadi hak bagi setiap terpidana mati sebagai bukti konsistensi bahwa pidana mati bukanlah pidana pokok. Lebih dari itu, Indonesia juga seharusnya melihat perkembangan mayoritas negara-negara di dunia mulai menghapuskan pidana mati bukan malah mempertahankannya.