RUU Omnibuslaw Kesehatan Diharapkan Perkuat KTKI dan KKI Jadi LNS

Penulis: Selamat Saragih Pada: Kamis, 17 Nov 2022, 21:40 WIB DPR
RUU Omnibuslaw Kesehatan Diharapkan Perkuat KTKI dan KKI Jadi LNS

dok.ist
Usai rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RAi terkait RUU Omnibuslaw Kesehatan

BADAN Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) pada Senin (14/11) kemarin.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua IAKMI, Ede Surya Darmawan, memulai forum dengan mengutip amanah Konstitusi Pasal 28 H UUD NRI 1945 yang berbunyi; setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

"Atas dasar itu, maka implikasi kesehatan masyarakat sebagai Kewajiban Negara (State Obligation), menyebabkan pendekatan kesehatan masyarakat harus komprehensif mencakup semua aspek yang menuntut pengorganisasian yang utuh. Sehingga mestinya undang-undang yang dibahas adalah RUU Omnibuslaw Kesehatan Masyarakat," ujar Ede dikutip Kamis (17/11).

Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas, mengatakan, sepakat bahwa filosofi dari pemberian pelayanan kesehatan sebagai bag8ian dari hak warga negara atau state obligation (kewajiban negara). "Karena itu, pemberian pelayanan kepada masayarakat harus berbasis pada pendekatan kesehatan masyarakat," kata Andi.

Senada Andi, Dewan Pakar IAKMI, Hermawan Saputra, menambahkan, mengacu pada pembelajaran di Thailand & Qatar, di mana mereka telah menunjukkan keberhasilan kinerja dalam memberikan perlindungan kepada masyarakatnya.

Maka dia tidak heran, nama kementerian yang menangani kesehatan, adalah Kementerian Kesehatan Masyarakat (Ministry of Public Health) dengan pendekatan kesehatan masyarakat yang komprehensif, fokus pencegahan dan terpadu.

"Pendekatan prioritas pembangunan kesehatan masyarakat, idealnya, tidak reaktif dan perlu perubahan ke arah proaktif, promotif, preventif, komprehensif, dan integratif di samping pada pelayanan kuratif rehabilitatif," pinta Hermawan.

Untuk itu, Anggota Baleg DPR RI, John Kenedy Azis, menilai pentingnya kehadiran RUU Omnibuslaw Kesehatan ini, mengingat existing regulasi yang mengatur kesehatan sudah sangat banyak dan tumpang tindih. Sehingga perlu dirampingkan, namun jangan sampai hal-hal prinsip malah kurang diatur.

"Tidak heran, ada yang pro dan kontra dan ada yang menanyakan apa urgensinya RUU Kesehatan ini," kata Jhon.

Dalam kesempatan terpisah, Asnawi Abdullah, Guru Besar Kesehatan Masyarakat dan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Muhammadiyah Aceh, mengingatkan tentang pentingnya fokus prioritas upaya kesehatan di Indonesia.

Selama itu, ujar Asnawi, pendekatan-nya mengedepankan paradigma sakit dan cenderung reaktif. Dalam draft RUU Kesehatan Omnibuslaw ada wacana disamping Upaya Kesehatan Pribadi (UKP) dan Usaha Kesehatan Masyarakat (UKM) untuk mejadi tiga upaya meliputi UKP, UKM, dan UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat).

Dengan memperjelaskan pendekatan, maka harapannya lebih memperjelas peran negara dalam UKM. Selama ini, lanjutnya, sistem rujukan hanya berjalan di UKP. Sedangkan UKM masih belum jelas berjalan padahal sudah diamanatkan dalam UU Kesehatan, UU Pemda, dan Perpres Sistem Kesehatan Nasional.

Asnawi yang juga Wakil Ketua Umum PP IAKMI, menyampaikan usulan IAKMI agar rujukan UKM: dari UKM Primer, Skunder, dan Tersier, juga diatur dengan baik dalam RUU Kesehatan Omnibuslaw. "Dari draft RUU Omnibuslaw yang beredar, Ahli Kesehatan Masyarakat telah menjadi Jenis Tenaga Kesehatan tersendiri," kata Asnawi.

Walau demikian, Hermawan kembali menjelaskan bahwa organisasi profesi di bawah UU Nakes No 36/2014. Dalam UU ini disebutkan, setiap jenis Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk 1 (satu) Organisasi Profesi.

Ede menegaskan, bahwa IAKMI sangat mendukung OP tunggal. Namun OP dapat membentuk sub organisasi untuk penguatan spesialisasi keilmuan masing-masing ilmu. Misal IDI dan PDGI yang memayungi beberapa OP Spesialis. Kemudian IAKMI, ada beberapa Organisasi Anggota Lembaga IAKMI.

Ede juga menambahkan, dalam UU Nakes No 36/2014 disebutkan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR) berlaku selama lima tahun. Dalam RUU Kesehatan Omnibuslaw ada wacana menghilangkan masa berlaku STR menjadi 'Tanpa Jangka Waktu'.

IAKMI, ujar Ede, pihaknya mengingatkan kebijakan ini harus dikaji lebih dalam karena akan menghilangkan nilai-nilai CPD (Continuing Professional Development). "Para Tenaga Kesehatan (Nakes) berpotensi tidak akan mau lagi mengikuti pertemuan ilmiah, riset, maupun pengabdian masyarakat yang selama ini berjalan. Padahal dinamika perubahan dan perkembangan ilmu pengetahun kesehatan masyarakat berkembang cepat," jelas Ede.

Sementara itu, Rachma Fitriati, Pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, juga Wakil Ketua Konsil Kesehatan Masyarakat pada Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) memandang peran penting Tenaga Kesehatan sebagai satu kesatuan yang utuh dengan kemampuan professional yang berkelanjutan, sehingga mampu menyelesaikan persoalan kesehatan yang dinamis.

Karena itu, jelas Rachma, Organisasi Profesi Kesehatan menjadi bagian penting sebagai wadah untuk Tenaga Kesehatan professional.

"Indonesia memerlukan transformasi fundamental yang memfokuskan pada upaya pencegahan komprehensif (termasuk dalam pendanaan dan sumber daya manusia, Pendidikan/Pelatihan berkelanjutan, pengorganisasian hingga sistem kesehatan yang akan dibangun kedepan)," kata Rachma.

Plus Minus

Dalam kaitannya dengan keberadaan Konsil Tenaga Kesehatan, Rachma bersama rekannya dari KTKI, Gunawan Widjaya, menyampaikan, RUU Omnibuslaw Kesehatan ini harus sejalan dengan esensi UU No 36/2014 tentang ruh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).

Menurut dia, dari draft RUU Omnibuslaw yang beredar, ada wacana KTKI (dan KKI) hanya akan ditetapkan Menteri Kesehatan.  Padahal, jelasnya, menurut UU No 36/2014 tujuan Konsil Tenaga Kesehatan adalah untuk meningkatkan mutu Praktik Tenaga Kesehatan serta untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada Tenaga Kesehatan dan masyarakat. Saat ini, KKI dan KTKI ditetapkan Presiden sehingga menjadi Lembaga Non-Struktural (LNS) yang independent dan memiliki marwah untuk menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah.

Atas hal itu, Ede sebagai Ketua Umum IAKMI menegaskan, dukungannya agar di dalam RUU Omnibuslaw, KKI dan KTKI tetap menjadi Lembaga Non Struktural (LNS) yakni penetapan Anggota Konsilnya dengan Keputusan Presiden, agar dapat menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah dalam pemenuhan Hak Warga Negara (state obligation) atas Kesehatan sebagai Hak Warga Negara (state obligation).

"Jangan sampai, kehadiran RUU Omnibuslaw Kesehatan ini, jangan justru menyebabkan KTKI (dan KKI) menjadi lembaga yang dibawah K/L di bidang Kesehatan," ujar Ede.

Berkaitan dengan pelayanan pada pasien, Romo HR Muhammad Syafi’I, menjelaskan, amanah konstitusi 28 H tentang state obligation, jadi update dan perubahan RUU Kesehatan adalah keniscayaan.

Menurut Romo, tidak ada yang tidak tersentuh tenaga kesehatan, karena state obligation maka haram hukumnya pasien menolak pasien yang sakit. Harus ada perlindungan terhadap pasien dan harus diatur terperinci.

"Kenyataannya, banyak keluhan pasien yang sulit mendapat akses pelayan dari dokter spesialis," kata Romo.

Senada dengan hal ini, Firman Soebagyo, Anggota Baleg DPR RI, menilai kehadiran negara dalam memenuhi amanah konstitusi dalam kesehatan. Dia melihat bahwa masalah berawal dari tenaga kesehatan:

"Puskesmas sudah dibangun namun dokternya ada tidak? Karena sulitnya dapat SIP; biayanya 1,5 milyar di PTN Jawa Tengah, bagaimana masyarakat bisa bayar? Mengapa negara tidak bisa hadir dengan skema ikatan dinas untuk pemerataan? Ketiadaan dokter di Puskesmas, akhirnya perawat jadi tumpuan dengan keterbatasan kewenangan," kritik Firman.

Menjawab pertanyaan ini, Ketua Kolegium IPD Dr. dr. Irsan Hasan, SpPD, K-GEH, FINASIM menjelaskan, bahwa hal ini terjadi sejak Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi terhadap peraturan tentang wajib kerja dokter spesialis tahun 2019.

Pemerintah mulai menjalankan program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) pada 2017 dalam upaya menyediakan pelayanan dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia.

Wajib kerja dokter spesialis mencakup dokter spesialis anak, spesialis penyakit dalam, spesialis bedah, spesialis anestesi, dan spesialis kebidanan. "Dampaknya, bisa dirasakan sekarang. Untuk itu, Irsan berharap dalam RUU Omnibislaw kebijakan pemerataan penempatan dokter spesialis di daerah-daerah dapat kembali diberlakukan," jelas Irsan Hasan.

Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat (AIPTKMI), Agustin Kusumayati, melihat bahwa inisiatif menyusun RUU Kesehatan dengan metode omnibuslaw sebagai hal yang positif.

Mengingat berbagai regulasi yang ada sekarang, lanjut Agustin, memerlukan penataan ulang secara komprehensif, disusun dan dibangun dari awal dan dari dasar, dengan merujuk pada nilai, konsep-konsep, dan kerangka pikir yang sesuai dengan perkembangan pengalaman, ilmu, dan teknologi masa kini.

"RUU Omnibuslaw Kesehatan harus dapat memastikan perlindungan dan pemenuhan hak setiap warga negara atas kesehatan, termasuk menjamin kepastian dan perlindungan terhadap semua pihak dan semua jenis tenaga kesehatan yang menyelenggarakan berbagai bentuk upaya dan layanan kesehatan, termasuk tenaga kesehatan masyarakat," ungkap Agustin.(OL-13)