Rapat di DPR: Menkominfo Dicecar Soal Izin Starlink yang Ancam Industri Telekomunikasi Nasional

MI
Menkominfo dicecar dalam rapat banggar DPR
MENTERI Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mendapat kritik tajam terkait pemberian izin layanan internet berbasis satelit, Starlink Indonesia, milik Elon Musk. Kebijakan ini dikhawatirkan dapat merusak industri telekomunikasi nasional.
Kritik ini muncul dalam rapat kerja (raker) antara Komisi I DPR dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Rapat tersebut juga dihadiri oleh Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisioner Komisi Informasi (KI) Pusat, dan Dewan Pers.
"Kami berharap kebijakan ini tidak membunuh industri telekomunikasi dalam negeri, khususnya Telkom," ujar Anggota Komisi I DPR Nurul Arifin, di Ruang Rapat Komisi I DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 10 Juni 2024.
Baca juga : Sebulan Beroperasi, Starlink belum Miliki Kantor Resmi di Indonesia
Pemberian izin untuk Starlink yang menimbulkan kontroversi ini juga menimbulkan pertanyaan. Kementerian Kominfo diminta untuk menjelaskan apakah mereka telah mempelajari konsekuensi dari pemberian izin tersebut.
"Hal ini memunculkan pro dan kontra, bagaimana sebenarnya sikap Kominfo? Apakah sisi negatifnya sudah dipelajari? Bagaimana dengan sisi positifnya?" tanya Nurul.
Selain itu, Budi juga ditanyai mengenai izin wilayah operasi Starlink. Menurut Nurul, Starlink seharusnya diberikan izin untuk beroperasi di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Baca juga : BUMN Telekomunikasi Harus Antisipasi Hadirnya Starlink di Indonesia
"Mengapa tidak membatasi operasi Starlink di daerah 3T saja? Mengapa harus di pusat? Apakah memang ada permintaan atau kompensasi yang diminta oleh pihak Starlink?" tambah Nurul.
Budi menegaskan bahwa tidak perlu khawatir Starlink akan mengancam industri telekomunikasi dalam negeri. Ia merujuk pada pangsa pasar Starlink di berbagai negara.
"Data terakhir menunjukkan pangsa pasar Starlink di Amerika Serikat hanya 0,2 persen, di Kanada hanya setengah persen, di Australia juga setengah persen, dan di Selandia Baru hanya 0,8 persen. Negara-negara ini secara geografis memerlukan teknologi satelit. Jadi, mengapa kita harus takut dengan pangsa pasar yang di bawah satu persen?" jelas Budi. (Z-10)