Layanan Kesehatan Harus Inklusif dan tanpa Diskriminasi

Penulis: Ihfa Firdausya Pada: Rabu, 24 Jul 2024, 21:44 WIB DPR
Layanan Kesehatan Harus Inklusif dan tanpa Diskriminasi

ANTARA/HARVIYAN PERDANA PUTRA
Petugas kesehatan mendorong tempat tidur pasien.

LAYANAN kesehatan di Indonesia didorong agar semakin inklusif bagi seluruh kalangan, termasuk bagi kelompok rentan seperti disabilitas, hingga perempuan dengan HIV. Hal tersebut menjadi bahasan dalam webinar Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk Pengintegrasian Perspektif Pro Gedsi ke Dalam Kebijakan Nasional Kesehatan, Rabu (24/7).

Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani menjelaskan, Pasal 28H dan pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan negara wajib memberikan pelayanan kesehatan tersebut tanpa diskriminasi.

Saat ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan telah mengatur layanan untuk kelompok rentan. Irma mencontohkan, Pasal 53 UU Kesehatan mengatur perihal menjaga penyandang disabilitas tetap hidup, sehat, produktif, dan bermartabat.

Baca juga : Penimbangan Nasional Serentak Diharapkan Capai 95% Anak untuk Deteksi Stunting

Ia juga mencontohkan perbaikan seluruh faskes 1 atau puskesmas melalui UU Kesehatan yang baru. “Saat ini puskesmas di seluruh Indonesia harus memiliki USG, harus punya ruang rawat inap sementara sebelum dirujuk ke rumah sakit. Harus juga memiliki dokter dan bidan. Itu tercantum di UU Kesehatan,” ujar Irma.

“Hanya saja sampai hari ini memang turunan dari Undang-Undang itu belum diterjemahkan melalui peraturan menteri dan peraturan pemerintahnya,” imbuhnya.

Irma mengatakan Komisi IX berusaha sangat keras untuk membuat seluruh pelayanan kesehatan bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia, seperti disabilitas dan masyarakat rentan lainnya.

Baca juga : Pemerataan Bidan Harus Sampai Desa untuk Kemandirian Masyarakat

“Ini menjadi bagian penting dari Komisi IX untuk menyampaikan kepada pemerintah bahwa kesehatan ibu dan anak itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan yang iklusif, berkeadilan gender, serta tidak ada diskriminasi,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Yakkum Semarang Kriswidiati menyebut ada enam domain untuk menuju layanan kesehatan yang inklusif disabilitas, yaitu tata kelola, praktik manajemen, sumber daya manusia, sumber daya keuangan, aksesibilitas, dan jejaring kemitraan.

Ia mengatakan ada sejumlah tantangan untuk mewujudkan layanan kesehatan iklusif. “Secara internal, pasti membutuhkan waktu internalisasi nilai dan skill untuk gender, disabilitas, dan inklusi sosial. Kemudian membutuhkan sumber daya manusia yang terlatih,” katanya.

Baca juga : 7 Tips Perencanaan Keuangan untuk Penyandang Disabilitas

Sebagai wujud kepedulian terhadap penyandang disabilitas, RS Panti Wilasa Citarum berupaya menyediakan layanan yang ramah difabel. Selain itu, RS ini juga mengupayakan jejaring kemitraan dengan komunitas-komunitas difabel di area Kota Semarang dan sekitarnya.

“Fasilitas yang ada di rumah sakit sangat mendukung agar teman-teman dapat memperoleh kesehatan dengan mudah dan gampang, yaitu parkir prioritas, ram dan handrail, juga ada huruf braile di lift, termasuk tombol-tombol yang kami letakkan cukup mudah diraih untuk penyandang dengan kursi roda,” ujarnya.

Selain disabilitas, kelompok rentan lain adalah perempuan dengan HIV. Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia Ayu Oktariani menyampaikan, perempuan memiliki kerentanan saat ia terbuka pada kondisi HIV-nya di ruang publik.

Baca juga : Rumah Sakit ini Resmikan Layanan Terpadu One Stop Services Khusus Lansia di Jakarta

“Pada kondisi seperti saya atau kawan-kawan yang sudah siap dan berdaya, membuka status HIV itu mungkin bukan persoalan. Tapi bagi banyak perempuan lainnya, ini sebuah momok,” ungkapnya.

Pada banyak pasien perempuan setelah terinfeksi HIV, lanjutnya, kerentanan pada kekerasan akan meningkat, baik oleh pasangan, oleh keluarga pasangan, keluarganya sendiri, termasuk masyarakat. “Karena dianggap dia layak mendapatkan kekerasan karena sudah mencoreng nama baik keluarga,” katanya.

Diskriminasi juga terlihat dalam program notifikasi pasangan. Pada program tersebut, semua orang yang terinfeksi HIV, pasangannya akan dilakukan pemeriksaan.

“Pada kasus laki-laki, jika laki-laki terinfenksi HIV maka 98% pasangan perempuannya tidak akan menolak karena dianggap harus tunduk, patuh, dan taat untuk juga ikut periksa HIV demi kesehatan,” tutur Ayu.

“Namun jika yang ketahuan positif duluan adalah pasangan perempuannya, maka sulit sekali untuk mengajak pasangan laki-laki untuk tes. Kecenderungan dia menyangkal, atau bahkan potensi kekerasan sangat mungkin terjadi,” imbuhnya.

Ia berharap layanan kesehatan di Indonesia lebih ramah pada kelompok perempuan HIV. “Layanan kesehatannya sudah ada, sudah terfasilitas lengkap. Tapi masih banyak sekali nakes yang kurang ramah,” katanya.

Hal lain yang disorot adalah perihal pernikahan anak. Dewan Pengawas Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin K Susilo menyebut batas perkawinan yang telah disamakan antara laki-laki dan perempuan yakni 19 tahun ternyata tidak menyelesaikan masalah perkawinan anak. Pasalnya kemudian ada ketentuan dispensasi nikah.

“Artinya kawin usia anak masih terjadi. Para hakimnya tidak paham dampak pernikahan anak secara fisik, psikis, dan sosial. Saya memantau di Pengadilan Jakarta Timur memutuskan dispensasi pernikahan anak, orangnya masuk, 5 menit ketok palu sudah keluar dispensasi itu,” paparnya.

Padahal, katanya, perempuan mempunyai risiko yang berkaitan dengan angka kematian, hingga kemampuan mendidik atau membesarkan anaknya. “Kita sering kali lupa bahwa dengan mengkampanyekan perkawinan di usia yang sudah matang, itu sebetulnya kita sedang ingin mewujudkan kualitas anak bangsa yang berkualitas,” pungkasnya. (Z-6)