Undip Minta Maaf atas Kasus Perundungan PPDS, DPR : Perbaiki Pendidikan Dokter

Penulis: Administrator Pada: Sabtu, 14 Sep 2024, 11:35 WIB DPR
Undip Minta Maaf atas Kasus Perundungan PPDS, DPR : Perbaiki Pendidikan Dokter

freepik
ilustrasi

DEKAN Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) dan menejemen Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) Kariadi telah mengakui adanya kasus perundungan terhadap peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto meminta agar ini menjadi awal yang baik untuk terus melakukan perbaikan dalam pendidikan dokter.

“Tidak menyangkal, lalu minta maaf merupakan tindakan yang positif dan berarti sudah ada niat untuk memperbaiki diri,” kata Edy dalam keterangannya di Jakarta pada Sabtu (14/9).

Edy juga memberikan apresiasi kepada Dekan FK Undip dan manajemen RSUP Kariadi. Diharapkan dengan adanya permintaan maaf ini, pihak-pihak terkait akan lebih fokus dalam memperbaiki sistem agar mencegah perundungan.

Baca juga : RSUP Kariadi dan Undip Akui Adanya Perundungan PPDS

Edy menekankan dalam pendidikan, utamanya pendidikan spesialistik harus mengutamakan aspek andragogi atau pendidikan untuk orang dewasa. Dia menginginkan dalam pembelajaran tercipta suasana yang berdasar prinsip kemitraan, partisipatif, dan memberikan pengalaman nyata.

“Sehingga pembelajaran ini berlangsung menyenangkan tapi peserta didik dapat memperoleh ilmu dari senior atau konsulennya dengan baik. Bisa praktik dengan rasa aman,” ujarnya.

Politisi PDI Perjuangan ini juga meminta institusi pendidikan tinggi dan rumah sakit pemerintah lainnya tidak denial dengan fakta perundungan sehingga ketika ada laporan,  sistem pembelajaran harus dikoreksi.

“Adanya peraturan dekan di berbagai center pendidikan sudah sangat bagus. Tinggal bagaimana penerapannya,” tutur Edy.

Legislator dari Dapil Jawa Tengah III ini juga memberikan atensi atas rencana Kemendikbud Ristek untuk menerbitkan Permendikbud -Ristek tentang pencegahan perundungan. Sebab dalam pendidikan kedokteran maupun tenaga kesehatan, tidak hanya melibatkan Kementerian Kesehatan.

“Kemenkes memang memiliki wewenang dalam rumah sakit, namun untuk pendidikannya juga melibatkan FK yang merupakan bagian dari kewenangan Kemendikbudristek. Sekarang ada dua kementerian yang memberikan atensi. Ini tentu lebih baik untuk mencegah praktik perundungan itu terjadi lagi,” kata Edy.

Untuk jangka panjang, Edy mendesak pemerintah segera membentuk konsil dan kolegium. Edy menyebut bahwa kolegium nantinya yang menyusun standar kompetensi tenaga kesehatan dan tenaga medis. Dalam hal ini termasuk standar pendidikan.

“Kolegium ini bersifat independen dan terdiri dari guru besar dan para spesialis atau sub spesialis,” ujarnya.

Menurut Edy peran kolegium yang sesuai dengan UU Nomor 17/2024 tentang Kesehatan diperlukan. Dia merincikan, kolegium yang memiliki tugas pokok dan tanggung jawab untuk menyusun standar pendidikan profesi, standar kompetensi profesi, lalu proses pembelajaran pendidikan profesi dan spesialis.

“Selain itu juga penilaian atau uji kompetensi nasional pendidikan profesi dan spesialis. Kolegium juga yang mengeluarkan sertifikat untuk calon pendidik klinis,” ucap Edy.

Lebih lanjut, Edy juga menyoroti soal sertifikasi pendidik di pendidikan profesi spesialis. Sering kali pendidik pada program spesialis adalah mereka yang mahir di klinis tapi tidak dibekali kemampuan sebagai pendidik. Menurutnya, pendidik pada program spesialis dari klinis yang tidak memiliki keterampilan pendidikan akan mengajar sesuai pengalamannya.

“Dulu diajari sama seniornya dengan dibentak-bentak, maka ketika jadi pendidik maka cara itu yang dilakukan,” katanya.

Edy pun mengusulkan agar pendidik klinis harus memiliki sertifikasi. Artinya mereka harus belajar lagi teori pendidikan. Sebab kemampuan klinis saja belum cukup untuk melakukan transfer knowledge.

“Bagi pendidik klinis itu harus punya metode bagaimana membimbing dan mentoring mahasiswanya,” pungkasnya. (DEV)